Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Influencer bukan Sebar Informasi Keliru

Dhk/P-2
22/8/2020 04:08
Influencer bukan Sebar Informasi Keliru
Ilustrasi(Medcom.id)

PENGGUNAAN jasa influencer atau pemengaruh oleh lembaga pemerintah sah saja untuk menyosialisasikan kebijakan. Pasalnya, mereka dipilih berdasarkan kompetensi dan tidak untuk menyebarkan informasi yang keliru.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menyatakan hal itu, kemarin, dalam menanggapi kritik Indonesia Corruption Watch (ICW).

ICW menemukan pemerintah mengucurkan Rp90,45 miliar untuk influencer sejak 2014. Temuan itu dari hasil penyisiran pengadaan barang dan jasa dari Layanan Pengadaan secara Elektronik (LPSE).

“Kalau menyosialisasikan kebijakan yang benar apa salahnya? Kecuali mereka memutarbalikkan fakta, membuat baik apa yang tidak baik, hanya memakeup saja sesuatu yang buruk. Toh, mereka (influencer) berbicara apa adanya,” cetus Donny.

Donny mengatakan program pemerintah perlu dipahami seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, sebagian segmen masyarakat lebih banyak menggunakan media sosial.

Jasa influencer pun digunakan karena memiliki pengaruh serta pengikut besar di media sosial yang dinilai berguna untuk menyosialisasikan kebijakan.

“Jadi, saya kira bukan tidak percaya diri, tapi agar jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milenial karena 40% populasi kita milenial,” imbuhnya.

Terkait dengan anggaran Rp90,45 miliar, Donny menyebut jumlah itu merupakan anggaran kehumasan yang tersebar untuk berbagai kegiatan dan tidak hanya untuk jasa influencer.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai penggunaan jasa influencer untuk sosialisasi kebijakan pemerintah tidak efektif. Yang belakangan terjadi, informasi yang disebarkan kerap menjadi kontroversi lantaran influencer kurang penguasaan substansi kebijakan.

Trubus mengakui kalangan influencer memiliki nilai plus dari segi penguasaan strategi media sosial. Meski begitu, untuk isu-isu krusial, seperti kebijakan dan penyusunan regulasi sebaiknya lebih mengutamakan partisipasi publik seluasnya.

“Agar kepercayaan kepada pemerintah muncul. Influencer bisa saja untuk promosi pariwisata dan kebudayaan, tapi untuk regulasi sebaiknya jangan,” ungkapnya. (Dhk/P-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya