Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

MA Diminta Lebih Transparan dalam Sidang

Indriyani Astuty
10/7/2020 04:15
MA Diminta Lebih Transparan dalam Sidang
Gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta.(MI/Bary Fathahilah)

PROSES persidangan di Mahkamah Agung ( MA ) yang tidak transparan dan sulit diakses publik mendapatkan kritik sebab keputusan itu
menimbulkan polemik di masyrakat.

MA pada putusannya membatalkan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 yang berbunyi, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.”

Putusan MA menyebutkan aturan itu bertentangan dengan UU 7/2017 tentang Pemilu, yang mengatur penetapan pemenang pilpres apabila memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Putusan tersebut menimbulkan perdebatan tentang hasil Pemilu 2019 sebab Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus pengujian Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

Putusan MK pada pokoknya menyatakan apabila hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres, pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih yang memperoleh suara terbanyak. Putusan MK tersebut kemudian diakomodasi dalam PKPU No 5/2019.

“Putusan MA terlambat diumumkan pada publik, keterlambatan ini membuat kepercayaan terhadap mekanisme penegakan pemilu berkurang. Lepas dari isinya sebaiknya diungkapkan pada publik seharusnya lebih cepat,” ujar pengamat politik Ray Rangkuti secara daring yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, penetapan calon terpilih dalam pemilu yang sudah diputuskan pada 28 Oktober 2019 baru diunggah pada Juli 2020 dan menimbulkan polemik mengenai hasil Pilpres 2019.

Tidak terbuka

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan proses berperkara di MA yang tidak terbuka membuat publik sulit mengakses informasi. Berbeda dengan persidangan di MK, semua pihak yang terlibat bisa mengetahui prosesnya. “Di MA kita tidak tahu karena prosesnya tidak seterbuka dan mudah diakses seperti di MK. Kalau di MK satu hari diputuskan satu hari diunggah berkas putusannya dengan utuh. Tidak heran publik mengalami keterkejutan,” ucapnya.

Sementara itu, pengajar hukum tata negara di Universitas Andalas Feri Amsari juga menjadi pembicara dan menyampaikan publik tidak boleh terpancing pihak yang mencoba merekayasa putusan MA seolah-olah membatalkan hasil dari Pemilu 2019.

“Kita menyadari proses peradilan pemilu terkait hasil penyelenggaraan pemilu harus diakui rumit dan membingungkan. Proses perselisihan hasil pemilu rumit dan terlalu banyak fase sehingga sulit menemukan ujung hasil proses pemilu. Kita harus membenahi ini,” ujarnya.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafi s Gumay menambahkan ketentuan mengenai paslon presiden terpilih harus memenuhi syarat lebih dari 50% suara sah atau memenuhi syarat dukungan yang merata, sekurang-kurangnya 20% suara sah di lebih dari separuh provinsi di Indonesia tidak boleh dihilangkan. Menurutnya, sistem tersebut selain unik, juga seharusnya dipertahankan. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya