Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PAKAR intelijen Suhendra Hadikuntono mempertanyakan urgensi Mahkamah Konstitusi (MK) memanggil Presiden Joko Widodo untuk menghadiri persidangan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam surat panggilan yang ditandatangani Panitera MK Muhidin, Jumat (15/5), Presiden Jokowi diminta hadir untuk memberikan keterangan pada Rabu (20/5) dalam sidang perkara bernomor 24/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI menggugat Pasal 27 Perppu No 1/2020.
"Bukankah Perppu No 1/2020 sudah disahkan DPR RI menjadi undang-undang? Dengan disahkannya Perppu menjadi UU maka uji materi tersebut telah kehilangan objek perkara, sehingga mestinya gugur demi hukum. Lalu apa urgensinya memanggil Presiden Jokowi?" ujar Suhendra Hadikuntono.
DPR RI pada Selasa (12/5) lalu mengesahkan Perppu No 1/2020 menjadi UU. Terkait pengesahan tersebut, MK diprediksi akan menolah gugatan uji materi Perppu itu karena sudah kehilangan objek perkara.
Selain MAKI, sebenarnya ada dua pihak lainnya yang mengajukan judicial review atas Perppu No 1/2020, yakni Amien Rais, Dien Syamsuddin dan Sri Edi Swasono dengan perkara nomor 23/PUU-XVIII/2020, serta Damai Hari Lubis dengan perkara nomor 25/PUU-XVIII/2020. Namun Damai Hari Lubis langsung mencabut gugatannya begitu DPR RI mengesahkan Perppu itu menjadi UU.
Baca juga : Politisi PDIP Minta KPK Periksa Presiden Jokowi? Ini Faktanya
Menurut Suhendra, karena gugatan sudah kehilangan objek perkara, maka sia-sia saja perkara tersebut disidangkan.
"Maka kehadiran Presiden Jokowi pun akan sia-sia. Lebih baik waktu Presiden diprioritaskan untuk hal-hal yang lebih produktif. Silakan perkara itu disidangkan bila memang untuk memenuhi prosedur, tapi Presiden tak perlu datang. Presiden bisa mewakilkan kepada Menteri Hukum dan HAM," jelasnya.
Kalau memang penggugat menghendaki persidangan, kata Suhendra, maka mereka harus mencabut gugatannya dulu lalu mengajukan gugatan baru dengan objek perkara yang baru, yakni UU yang semula Perppu No 1/2020, bukan Perppu yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 31 Maret 2020 itu, karena Perppu tersebut sudah tidak ada begitu disahkan menjadi UU.
Hanya saja, lanjut Suhendra, gugatan baru bisa dilayangkan setelah UU tersebut dinomori Kementerian Sekretariat Negara dan dimasukkan ke dalam Lembaran Negara. Sesuai UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata Suhendra, DPR dan pemerintah punya waktu maksimal 30 hari untuk menomori UU setelah disahkan.
"Jadi para penggugat harap bersabar bila mau mengajukan gugatan baru," pinta Suhendra.
Pokok uji materi yang dipersoalkan MAKI, salah satunya pasal 27 Perppu 1/2020 yang berkaitan dengan kekebalan hukum pejabat negara. (RO/OL-7)
Prasetyo menjelaskan pemerintah saat ini memilih untuk berkomunikasi dengan DPR RI untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Yusril Ihza Mahendra menilai tidak ada urgensi bagi Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan perppu Perampasan Aset.
PRESIDEN Prabowo Subianto dinilai memiliki modal besar untuk merealisasikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP).
POLITIKUS PDIP Aria Bima mengatakan pihaknya mempersilakan Presiden Prabowo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait perampasan aset.
Kemenaker menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan perkara judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved