Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Ahli Sebut Audit Investigasi oleh BPK Tetap Butuh Konfirmasi

Antara
30/8/2019 15:25
Ahli Sebut Audit Investigasi oleh BPK Tetap Butuh Konfirmasi
Ahli hukum senior Prof I Gde Pantja Astawa(Ist)

AHLI hukum senior Prof I Gde Pantja Astawa menilai pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) I Nyoman Wara di depan Panitia Seleksi Capim KPK bahwa dirinya tidak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan tugas audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan tidak benar dan bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan peraturan BPK yang berlaku.

“Berdasarkan asas asersi pemeriksaan, auditor BPK harus mengonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif,” tegas Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjajaran itu di Jakarta, Jumat (30/8).

Pernyataan Nyoman Wara tersebut, menurut Prof Pantja, bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK (UU BPK) dan Peraturan BPK No 1/2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

Prof Pantja, yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, menegaskan bahwa dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur.

“Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK. Kedua, dia harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi. Asas asersi yaitu mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa, karena yang diperiksa harus dikonfirmasi apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK,” terangnya.

Maksudnya, lanjut dia, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apa pun sebagaimana diatur dalam UU BPK.

"Ada ketentuannya, asas ini mutlak. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur atau dinormatisasi di Pasal 6 Ayat (5) UU BPK. Adapun isi Pasal 6 Ayat (5): 'Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara'. Jadi, kalau 3 hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum," tuturnya.

Jika asas asersi itu tidak dipenuhi, dia pun berani mengatakan LHP dinyatakan batal demi hukum.  Pasalnya, norma UU menentukan demikian.

 

Baca jugaBamsoet: Karya Jurnalistik Foto Bak Bom Dengan Daya Ledak Tinggi

 

Sebelumnya, Capim KPK yang berasal dari BPK, I Nyoman Wara, menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara.

Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun. Padahal, audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan, dalam audit BPK 2006 dikatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN). 

Dan berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.

“Apakah masuk akal dari satu lembaga yang sama dapat mengeluarkan hasil audit investigasi yang saling bertentangan?” ucapnya.

Nyoman Wara menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.

Prof Pantja menambahkan bahwa dari data yang dimilikinya, audit BPK 2002 adalah juga audit investigatif, bukan audit kinerja sebagaimana disampaikan Nyoman Wara.

Nyoman Wara juga mengakui bahwa dalam audit BPK 2017, dirinya tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya, karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan SPKN, tidak perlu dimintakan tanggapan.

Mengenai hal tersebut, Prof Pantja menjelaskan, “SPKN itu terdiri atas Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Adapun PSP terdiri atas tiga bagian, yaitu PSP No 100 tentang Standar Umum, PSP No 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan PSP No 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan."

Ia menambahkan bahwa apa yang disampaikan Nyoman hanyalah mendasarkan pada PSP No 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan, paragraf 17, di mana untuk hasil akhir pemeriksaan dalam bentuk investigatif yang dituangkan dalam LHP memang tidak diperlukan tanggapan, namun dalam proses pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dikemukakan Pasal 6 Ayat (5) UU BPK dan Peraturan BPK No 1/2017, yakni pada Kerangka Konseptual Pemeriksaan, PSP No 100, dan PSP No 200, klarifikasi dan konfirmasi wajib dilakukan karena itu merupakan esensi dari suatu audit.

"Hal ini juga ditegaskan dalam PSP No 300 paragraf A4 bahwa pemeriksa harus menyajikan LHP secara seimbang dan tidak memihak. Bagaimana menyajikan LHP secara seimbang jika tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap pihak terperiksa? Adalah sangat berbahaya apabila BPK dalam auditnya dibenarkan menyimpulkan pihak terperiksa telah merugikan keuangan negara tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak yang diperiksa. KPK merupakan salah satu objek yang diperiksa BPK, apakah KPK mau bila BPK menyatakan bahwa KPK telah merugikan keuangan negara tanpa diklarifikasi dan dikonfirmasi? Jadi apa yang disampaikan Nyoman di depan Pansel tidak sesuai dengan SPKN yang berlaku,” kata Prof Pantja.

Dalam kode etik BPK, menurut dia, dikatakan bahwa anggota BPK dan pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya harus independen, berintegritas, dan profesional demi menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.

"Independensi diwujudkan dengan sikap pemeriksa yang tidak memihak. Integritas merupakan mutu atau sifat yang menunjukkan adanya sifat jujur dari seorang pemeriksa. Sedangkan profesional diwujudkan dari kemampuan dan keahlian pemeriksa dengan mendasarkan pada SPKN.”

Di depan pansel Capim KPK, Nyoman Wara telah mengakui bahwa audit BPK 2017 hanya didasarkan pada informasi/bukti dari satu sumber saja, yaitu dari penyidik KPK, dan Nyoman juga mengakui tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa (auditee).

“Jadi silakan disimpulkan sendiri, apakah I Nyoman Wara telah melaksanakan pemeriksaan secara benar, independen, berintegritas, dan profesional,” pungkas Prof Pantja. (RO/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik