Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
SELURUH fraksi MPR diketahui telah melakukan diskusi panjang soal usulan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Anggota Fraksi PKS MPR RI, Andi Akmal Pasluddin, kebutuhan untuk menghidupkan GBHN ini dirasakan mendesak agar Indonesia mempunyai arah dan pedoman yang jelas.
“Kita sudah diskusi panjang soal usulan menghidupkan kembali GBHN dengan pakar perguruan tinggi, kelompok masyarakat, hingga kelompok profesi. “Rata-rata yang kami temukan bahwa masyarakat menginginkan agar negara kita ini punya GBHN,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Andi berpendapat, saat ini sistem perencanaan pembangunan nasional tidak terintegrasi dengan baik. Khususnya setelah dilakukan pemilihan umum langsung dan aturan soal otonomi daerah. “Masing-masing jalan ya, presidennya dengan visi-misinya, gubernur dengan visi-misinya 5 tahun, dan tidak ada jaminan bahwa presiden, gubernur, bupati, wali kota bisa bertahan 10 tahun karena dipilih lagi oleh rakyat, ini kan bisa sistem perencanaan bisa berubah,” ujar Andi.
Dengan adanya GBHN, ungkap Andi, Indonesia jadi memiliki pedoman, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang untuk mereka yang menjalankan pemerintahan. MPR juga dianggap penting untuk dikembalikan perannya sebagai lembaga tertinggi negara seperti sebelum dila-kukannya pemilu langsung. “Kajiannya ini sebenarnya sudah selesai, tinggal political will, kemauan politik dari partai-partai yang ada di DPR agar bisa melakukan amendemen ke-5,” ujarnya.
Hal berbeda dikatakan pengamat politik dari Lembaga Analisis Politik Indonesia (L-API), Maksimus Ramses Llalongkoe, yang menilai saat ini tidak ada dasar hukum secara yuridis yang menyebutkan apabila amendemen ke-5 mendesak dilakukan. Selain itu, penghidupan kembali GBHN tak memiliki substansi yang jelas.
“Karena itu, kalau misalnya ini didorong, bisa berimplikasi terhadap pertanggungjawaban politik seorang presiden. Artinya, kita bisa kembali kepada sistem parlementer, bukan lagi pada presidensial, karena ini berdampak pada produk perundang-undangan yang lain,” ujarnya. (Pro/P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved