Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

MPR Nilai GBHN Perlu Dihidupkan Kembali

Pro/P-4
27/7/2019 04:15
MPR Nilai GBHN Perlu Dihidupkan Kembali
Andi Akmal Pasluddin(MI/SUSANTO)

SELURUH fraksi MPR diketahui telah melakukan diskusi panjang soal usul­an menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Anggota Fraksi PKS MPR RI, Andi Akmal Pasluddin, kebutuhan untuk menghidupkan GBHN ini dirasakan mendesak agar Indonesia mempunyai arah dan pedoman yang jelas.

“Kita sudah diskusi panjang soal usulan menghidupkan kembali GBHN dengan pakar perguruan tinggi, kelompok masyarakat, hingga kelompok profesi. “Rata-rata yang kami temukan bahwa masyarakat menginginkan agar negara kita ini punya GBHN,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

Andi berpendapat, saat ini sistem perencanaan pembangunan nasional tidak terintegrasi dengan baik. Khususnya setelah dilakukan pemilihan umum langsung dan aturan soal otonomi daerah. “Masing-masing jalan ya, presidennya dengan visi-misinya, gubernur dengan visi-misinya 5 tahun, dan tidak ada jamin­an bahwa presiden, gubernur, bupati, wali kota bisa bertahan 10 tahun karena dipilih lagi oleh rakyat, ini kan bisa sistem perencanaan bisa berubah,” ujar Andi.

Dengan adanya GBHN, ung­kap Andi, Indonesia jadi memiliki pedoman, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang untuk mereka yang menjalankan pemerintahan. MPR juga dianggap penting untuk dikembalikan perannya sebagai lembaga tertinggi negara seperti sebelum dila-kukannya pemilu langsung. “Kajiannya ini sebenarnya sudah selesai, tinggal political will, kemauan politik dari partai-partai yang ada di DPR agar bisa melakukan amendemen ke-5,” ujarnya.

Hal berbeda dikatakan pengamat politik dari Lembaga Analisis Politik Indonesia (L-API), Maksimus Ramses Llalongkoe, yang menilai saat ini tidak ada dasar hukum secara yuridis yang menyebutkan apabila amendemen ke-5 mendesak dilakukan. Selain itu, penghidupan kembali GBHN tak memiliki substansi yang jelas.

“Karena itu, kalau misalnya ini didorong, bisa berimplikasi terhadap pertanggungjawaban politik seorang presiden. Artinya, kita bisa kembali kepada sistem parlementer, bukan lagi pada presidensial, karena ini berdampak pada produk perundang-undangan yang lain,” ujarnya. (Pro/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya