Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
RENCANA reuni aksi 212 pada Minggu (2/12) mendatang membuktikan secara nyata bahwa aksi yang awalnya digagal sejumlah elite politik Islam pada 2016 dan direpetisi pada 2017 sebagai gerakan politik. Hal itu diungkapkan Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan resmi yang diterima Media Indonesia, Jumat (30/11).
"Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019," kata Hendardi
Menguasai ruang publik (public space), imbuhnya, adalah target para elite 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah.
"Bagi mereka, public space adalah politik. Jadi, meski gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi," ungkap Hendardi
Baca juga: Reuni PA 212 tidak Boleh Ada Unsur Kampanye
Hendardi juga menyesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.
"Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya," tegasnya.
Namun, Hendardi melihat selama dua tahun ini, gerakan 212 mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
"Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," pungkasnya. (RO/OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved