Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
MAHKAMAH Konstitusi menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) dengan agenda pengucapan keputusan. Pemohon diajukan oleh SA Habibie sebagai Direktur Perusahaan PT Timsco Indonesia.
Pemohon mempersoalkan Pasal 55 UU PTUN yang mengatur tenggang waktu pengajuan gugatan ke PTUN selama 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau pejabata Tata Usaha Negara. Pemohon merasa rentang waktu 90 hari yang diatur dalam Pasal 55 sangat singkat.
Ia juga menggugat bahwa pasal 55 UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Dalam memutuskan perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 tersebut, Ketua Majelis Hakim Anwar Usman membacakan putusan bersama delapan hakim lainnya.
"Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon mangenai frasa '90 (Sembilan Puluh) hari' dalam Pasal 55 UU PERATUN bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum," ujar Anwar Usman di Ruang Sidang Lantai 2 Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/11).
Dalam sidang sebelumnya, pihak terkait yaitu Inspektorat Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung, Oktavianus menyampaikan secara konkret bahwa hal yang dialami pemohon merupakan sengketa kepemilikan dalam sistem penyelesaian perkara sengketa pertanahan.
Lanjutnya dalam putusan, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan terhadap dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 55 UU PERATUN tersebut, Mahkamah mempersoalkan apakah pembatasan waktu 90 hari dalam Pasal 55 UU PERATUN bertentangan dengan UUD 1945. Maka menurut Anwar, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007 bertanggal 12 Maret 2007 telah mempertimbangkan,
”Bahwa setiap undang-undang yang menyangkut keputusan/penetapan tata usaha negara (beschikking), selalu ditentukan mengenai tenggang waktu tersebut. Hal dimaksud justru untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) atas keputusan/penetapan tersebut sampai kapan keputusan/penetapan (beschikking) dapat digugat di pengadilan. "kata Anwar.
Oleh karena itu berdasarkan Putusan Mahkamah tersebut, maka pembatasan waktu 90 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU PERATUN adalah, memberikan kepastian hukum atas keputusan/penetapan tata usaha Negara, dan pilihan kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 55 UU PERATUN adalah konstitusional," jelasnya.
Kemudian dalam persidanganterhadap putusan Mahkamah, terdapat satu orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
"Menimbang bahwa dari uraian pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam UU Peratun tidak diatur tentang hak mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu KTUN, sehingga telah terjadi kekosongan Hukum (rechtsvacuum) dalam UU Peratun," kata Manahan.
Permasalahan hukum ini menurut Manahan seharusnya ada pada ranah pembentuk undang-undang dalam hal ini legislative review. Oleh karena itu dapat difahami hal ini dijadikan salah satu alasan dikeluarkannya SEMA Nomor 2 Tahun 1991 oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Bahwa sehubungan dengan permohonan Pemohon yang dalam petitumnya meminta agar kepada pihak pemohon atau pihak ketiga yang merasa kepentingannya dirugikan 'diberi hak mengajukan gugatan melebihi tenggang waktu 90 hari, tidak mempunyai alasan hukum, di samping petitum Pemohon tidak jelas permintaannya juga tidak memenuhi asas tertib dalam penyelenggaraan negara yang berpedoman kepada tenggang waktu yang tetap (pasti).
"Menimbang bahwa dari seluruh pertimbangan di atas, saya berpendapat; 1) Terjadi kekosongan hukum dalam UU Peratun dengan tidak diaturnya hak menggugat dan tenggang waktu mengajukan gugatan pihak yang tidak dituju oleh KTUN (pihak ketiga). 2) Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak," tandas Manahan. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved