Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Mengendalikan Pemberantasan Korupsi

Rudy Polycarpus
20/9/2015 00:00
 Mengendalikan Pemberantasan Korupsi
(MI/ROMMY PUJIANTO)
Usulan memasukkan delik tindak pidana korupsi dan pencucian uang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengindikasikan banyaknya kepentingan yang bertaut dengan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memaksakan kodifikasi atau memasukkan semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ke dalam KUHP hanya akan menimbulkan kerusakan hukum.

Demikian disampaikan pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, kemarin. Ia menyebut, nuansa adanya upaya mengendalikan pemberantasan korupsi oleh penguasa terasa kental sehingga revisi KUHP ini segera menimbulkan polarisasi pendapat, baik di mata masyarakat maupun tokoh-tokoh politik.

"Sebetulnya bukan pelemahan, namun mengendalikan KPK dengan kekuasaan," ujarnya.

Salah satu upaya untuk mempreteli KPK tampak pada pasal peralihan RUU KUHP. Pasal itu menyebut bahwa pada saat KUHP mulai berlaku, terhadap undang-undang di luar UU tersebut diberikan masa transisi paling lama tiga tahun untuk dilakukan penyesuaian dengan UU ini. Dengan ketentuan seperti itu, jelas Pohan, jika RUU KUHP disahkan menjadi UU, maka UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk kemungkinan UU No 30/2002 tentang KPK harus disesuaikan atau direvisi.

"Kalai sudah berlaku, maka UU Tipikor harus direvisi dan harus berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHPjuga tak mengakui keberadaan KPK," tandasnya.

Agustinus menangkap kesan bahwa revisi KUHP terkesan melindungi kekuasaan. Karena, jelas dia, tindak pidama korupsi langsung berkaitan dengan para pemangku kekuasaan. Hal ini berbeda dengan UU Terorisme atau UU Narkotika yang juga bersifat lex spesialis, namun memiliki sanksi khusus bagi pelaku. "RUU KUHP tidak memiliki sanksi khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor," ujar Pohan.

Seperti diketahui, 5 Juni lalu, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan naskah Rancangan KUHP kepada DPR. Saat ini, Komisi III DPR tengah meminta masukan dari sejumlah pihak seperti tim perumus KUHP, ahli, akademisi, Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta pihak-pihak terkait lainnya. Dalam Rancangan KUHP itu, ada semangat untuk melakukan kodifikasi, unifikasi dan harmonisasi perundang-undangan. Meski tujuannya baik, banyak rumusan berubah yang justru menimbulkan perbedaan dengan tindak pidana yang diatur dalam UU khusus.

"Karena korupsi masih menjadi musuh besar, kalau itu diatur dalam KUHP, akan kehilangan sifat khususnya. Hal ini berdampak pada penanganannya yang akan serupa dengan penanganan tindak pidana pada umumnya," jelas Pohan.

Sementara itu, pakar hukum pidana sekaligus Ketua Tim Perumus Revisi KUHAP, Andi Hamzah berpendapat, beberapa hukum yang sifatnya temporer sebaiknya tetap diatur dalam UU terpisah. Sebab, sekali masuk KUHP, maka akan sangat sulit untuk direvisi. Karena itu, UU Tipikor sebaiknya berada di luar KUHP. "Hukum yang sifatnya temporer di luar KUHP. Yang sifatnya abadi, silakan masuk KUHP," ujarnya.

Pendapat yang sama dikemukakan pakar hukum pencucian uang, Yenti Garnasih. Alasannya, tindak pidana khusus, apalagi kejahatan luar biasa seperti korupsi dan tindak pidana pencucian uang, memiliki hukum tersendiri. Jika klausul tindak pidana pencucian uang masuk ke KUHP, hukum acaranya tak dapat diatur rinci, seperti yang berlaku saat ini, yang banyak membantu pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Karena itu, menurut Yenti, kedua hal tersebut sebaiknya tetap di luar KUHP.

Apakah upaya memasukkan ketentuan korupsi dalam KUHP sebagai payung hukum merupakan satu langkah untuk mengendalikan peran KPK dan upaya pemberantasan korupsi secara bertahap?. (Q-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya