Kejanggalan pemberian remisi kepada narapidana kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain, Sigit Haryo Wibisono langsung menjadi perhatian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Sigit yang menghuni lapas Cipinang sejak 29 April 2009 ini seharusnya bebas 29 April 2024. Bahkan jika menerima remisi, Sigit baru bisa menghirup udara bebas 27 September 2020. Tapi kenyataannya per 6 September 2015, terpidana sudah berubah status menjadi klien pemasyarakatan dan menghuni tahanan terbuka di Cinere
“Berdasarkan tanggal telram (penggalan khusus Ditjen Pas) kami, pembebasan berstyarat itu jatuh di tanggal 6 September 215. Maka itu diserahkna ke balai pemasyarakatan atau bapas Jakarta Selatan untuk mendapatkan bimbingan dan beralih status dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan,†jelas Kepala humas Ditjen Pas Akbar Hadi, Kamis (17/9)
Remisi yang berujung pembebasan bersyarat ini, menurut Hadi, bukan diberikan karena faktor ketokohan Sigit sebagai pengusaha. Bahkan disebut-sebut bagian dari BIN nonorganik sehingga bisa menerima remisi berlipat.
“Tidak ada faktor itu. Pemberian remisi sudah sesuai dengan undang-undang pemasyarakatan di mana dia mendapat remisi khusus dan umum sejak tahun 2010. Selain itu sejak 2011 dia sebagai pemuka kegiatan di lapas juga mendapat remisi. Tapi tetap dalam syarat substanstantif dia berkelakuan baik dan aktif dalam kegiatan lapas dan tidak terdaftar dalam register F atau daftar pelanggaran disiplin,†jelasnya, Kamis (17/9).
Lebih lanjut dijelaskan, selama ini remisi yang menjadi hak narapidana terdiri dari berbagai macam. Hal ini, menurut Akbar Hadi, masih dipercaya untuk mengganjar para terpidana sebagai warga binaan yang diharapkan tidak mengulangi tindakan melanggar hukum.
“Sigit ini masih wajib lapor loh ya sebulan sekali ke Bapas. Artinya dia bebas beryarat, bukan bebas murni. Itu diatur dalam undang-undang juga peraturan menteri. Nah remisi ini antara lain, remisi umum, khusus, kemanusiaan, pemuka, lansia bahkan donor darah 15 kali bisa dapat remisi 15 hari atau remisi berjasa kepada negara (penemuan). Tapi itu jarang bahkan tidak ada,†terangnya.
Berbagai remisi ini, lanjut Hadi, juga bisa ditambah dengan kebijakan remisi lainnya pada saat pergantian kepemimpinan. Namun remisi maksimal hanya sampai enam bulan saja.
Sementara itu meski diatur dan dijamin oleh undang-undang No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi, anggota DPR Komisi III Masinton Pasaribu menduga pemerian remisi sarat penyimpangan. Selain masih kacaunya pemantauan dalam lapas, tidak tranparannya Ditjen Pas juga menguatkan peluang terjadi jual beli remisi.
“Remisi harusnya bukan hanya ketentuan undang-undang dan peraturan, tapi publik harus melihat tranparansi atau sisi baik kenapa narapidana itu bisa diberi remisi. Baiknya itu di mananya, jadi biarkan masyarakat juga ikut menilai,†tegasnya.
Berangkat dari hal itu, lanjut Pasaribu, wajar jika ada dugaan permainan dalam pemberian remisi.
Dikatakan, selain akan memanggil Menkumham Yasonna Hamongan Laoly untuk menjelaskan pemerian remisi, Masinton mencetuskan akan merevisi undang-undang dan aturan terkait potongan masa tahanan.
“Ini karena tidak ada ukuran penilaian secara objektif yang disampaikan dari lapas tentang pemberian remis tadi. Maka harus dibuatkan SOP juga untuk menterinya agar produk yang dikeluarkan juga terukur dan kami perlu tahu. Ada beberapa yang harus direvisi juga PP No 99 termasuk hak narapidana korupsi. Revisi tentang remisi ini juga bisa dibarengi,†cetusnya.
Dalam kasus yang juga menyeret bekas pimpinan KPK Antasari Azhar menjadi narapidana di lapas Tangerang ini, Ditjen Pas pun ternyata sudah membebaskan terpidana lainnya yaitu Wiliardi Wizard yang diganjar penjara 12 tahun tiga tahun lalu. (Q-1)