Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
TERDAKWA perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung divonis 13 tahun kurungan penjara saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Senin (24/9).
Ketua Majelis Hakim Yanto dalam putusanya mengatakan, selain divonis 13 tahun, terdakwa juga harus membayar denda Rp700 juta subsider tiga bulan penjara.
Menanggapi putusan itu, Syafruddin mengaku, akan mengajukan banding. Menurutnya, sampai saat ini ia tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Saya tadi sampaikan kepada majelis hakim bahwa tidak akan berdiskusi lagi dengan kuasa hukum saya. Oleh karena itu saya akan banding," tegasnya kepada sejumlah jurnalis seusai mengikuti sidang.
Syafruddin menyebutkan, apa yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU) tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya dalam kasus ini.
"Kami akan banding ke Pengadilan Tinggi. Dakwaan JPU KPK kami anggap tidak betul," imbuhnya.
Ketua Kuasa Hukum Syafruddin, Yusril Irza Mahendra menambahkan, pihaknya merasa bahwa persidangan sudah berlangsung cukup fair, cukup lama dan para pihak juga sudah menghadirkan saksi, ahli, dan juga menghadirkan alat bukti ke persidangan.
"Kami tetap berkeyakinan bahwa tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan bahwa klien kami bersalah. Makanya akan banding," terang Yusril menanggapi hasil putusan majelis hakim.
Dia menjelaskan, ada beberapa alasan, tapi alasan yang paling penting adalah pertama mengenai tempus delicti, kapan terjadinya tindak pidana itu.
Menurutnya, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik dari auditor BPK maupun juga keterangan dari saksi-saksi terungkap di persidangan bahwa kerugian negara itu mulai terjadi pada tahun 2017.
Dan semua mengakui, bahwa tagihan terhadap petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena tersebut diserahkan oleg Syafruddin selaku ketua BPPN tahun 2014 kepada Menkeu dengan jumlah Rp4,8 triliun.
Tapi kemudian di tahun 2017 dijual Rp220 miliar. Sehingga terjadi kerugian negara Rp4,58 triliun.
"Jadi tempus delictinya tahun 2017 ketika itu pak Syafruddin bukan lagi sebagai kepala BPPN. Jadi mengapa ini harus menjadi tanggung jawab pak Syafruddin," ungkap Yusril.
Selain itu, lanjutnya, bahwa terjadi perubahan hukum. Di mana, pada waktu perisitiwa itu terjadi, katakan misal 2004, pada waktu itu Tipikor tindak pidana formil.
Artinya kalau tindakan Syafruddin berpotensi menimbulkan kerugian negara itu saja sudah bisa dihukum, "Tapi kemudian pada 2010 terjadi perubahan hukum. MK memutuskan bahwa delik korupsi itu delik materil," ujarnya.
Artinya, kata Yusril, kerugian negara itu tidak boleh potensi. Tapi harus nyata terjadi dan kapan harus nyata terjadinya. Misalkan tahun 2017.
Oleh karena itu, kalau didakwa ke pengadilan terjadi perubahan hukum, maka harus diberlakukan hukum yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
"Saya sudah tanya pak Andi Hamzah di persidangan waktu itu sebagai ahli, dia menjawab bahwa siapa yang menilai, hukum mana yang menguntungkan, dia bilang majelis hakim kalau dia pakai teori perubahan hukum maka yang diberlakukan adalah yang paling menguntungkan mestinya pak Syafruddin dilepaskan dari segala dakwaan atas kasus ini," ungkapnya.
Yusril menambahkan, di samping hal-hal lain mereka berkeyakinan bahwa Syafruddin tidak cukup alasan untuk dihukum dalam kasus ini.
Pun demikian, dengan vonis ini mereka menghormati.
"Karena yang memutuskan hakim tentunya sebagai advokat saya sudah melakukan upaya-upaya pembelaan yang maksimal melalui cara-cara yang fair, yang sah, dan konstitusional. Karena kita tidak puas, kita akan mengajukan banding atas putusan hakim tingkat pertama," tandasnya.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun? 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
?Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti, mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 2004. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved