Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
PENGAJUAN uji materi terhadap penjelasan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan calon wakil presiden tidak pernah memegang jabatannya selama dua kali periode menuai kontroversi.
Pengamat politik Saiful Mujani menilai uji materi tersebut mengada-ada. Pasalnya, ketentuan dalam aturan tersebut ataupun Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 7 telah jelas.
Ketentuan itu pun selaras dengan amanat reformasi yang ingin membatasi masa kekuasaan lembaga kepresidenan, termasuk wakil presiden. “Jika dipegang satu tertentu secara terus-menerus akan muncul otoritarianisme dan absolute power corrupt absolutely,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Mujani mengingatkan aturan masa jabatan presiden dan wakil presiden itu saling melekat. Lubang konstitusi yang dicari-dicari untuk berpura-pura tidak paham ialah konstitusi tidak menyebut bahwa setelah lima tahun berturut-turut memegang jabatan presiden dan wakil presiden tidak dapat dipilih kembali.
“Jangan dipilah-pilah dan dibedakan antara presiden dan wakil. Kalau sudah dua kali jadi wapres itu artinya jelas dua kali, siapa pun pasangan presidennya. Kalau UUD bilang hanya boleh dua kali, ya dua kali. Ini sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan tafsir lain,” tegasnya.
Pengamat politik Universitas Andalas Padang, Asrinaldi, tidak menampik uji materi itu bisa saja dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Bila demikian, Kalla masih menjadi calon terkuat pendamping Jokowi.
Selain itu, portofolio Kalla dalam mengelola pemerintahan juga sudah cukup tebal. “Kalau misalnya JK diterima, Jokowi-JK ini akan menang mudah di masa mendatang dan akan diterima oleh partai politik lainnya,” tandasnya.
Wacana Jusuf Kalla menjadi pendamping Presiden Joko Widodo sudah pernah digaungkan PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi. Setelah Rapat Kerja Nasional III PDIP di Bali, Februari 2018, nama Kalla disebut sebagai salah satu cawapres potensial yang sedang dikaji PDIP.
PDIP mengakui sulit mencari figur yang menyamai Jusuf Kalla untuk menjadi pendamping Jokowi. Kalla disebut Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno sebagai figur dengan kualifikasi lengkap yang mampu menggaet pemilih dari berbagai kalangan, memiliki jaringan sosial yang kuat, serta pengalaman dan jam terbang tinggi.
“Kita tunggu putusan MK saja, yang kita harapkan waktunya sebelum batas tenggat pendaftaran pasangan calon,” tandasnya.
Namun, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan berdasarkan komunikasi Jokowi dengan partai pendukung, nama Kalla tidak ikut dibahas sebagai figur yang memungkinkan untuk menjadi cawapres Jokowi. Ini karena ada pikiran Kalla terbentur aturan untuk bisa maju kembali menjadi cawapres.
Meski begitu, jika uji materi yang diajukan Perindo dikabulkan, ia mengakui Kalla tetap berpeluang menjadi cawapres Jokowi.
Pandangan rival
Partai Gerindra meyakini koalisi pendukung Presiden Jokowi di Pemilu Presiden 2019 kesulitan mencari figur yang tepat untuk menjadi cawapres. Hal ini terlihat dari upaya kembali menjadikan Kalla sebagai cawapres dari Jokowi.
“Kubu Pak Jokowi sulit mencari cawapres sehingga tidak salah kalau ingin menjadikan Pak JK sebagai cawapres. Karena memang kalau melihat Pilpres 2019 salah satu faktor peningkatan suara Pak Jokowi karena hadirnya Pak JK yang mewakili umat, Indonesia Timur, mewakili pengusaha, dan sebagainya,” papar Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria.
Senada, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan uji materi pasal jabatan wapres memperlihatkan bahwa barisan koalisi petahana yang mendukung Joko Widodo tidak percaya diri hadapi pemilu tanpa JK.
Kondisi akan semakin rumit bagi koalisi pertahanan jika MK menguatkan UU Nomor 7 yang sedang digugat.
“Semakin sulit bagi mereka menentukan sosok cawapres.” (Put/A-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved