Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MENTAN Menteri Keuangan era Presiden Megawati Soekarnoputri, Boediono, mengungkapkan terdakwa penerbit Surat Keterangan Lunas (SKL) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Tumenggung yang mengusulkan penghapusan piutang BDNI terhadap petani tambak Dipasena sebesar Rp2,8 triliun.
Usul itu dibicarakan melalui rapat kabinet. Namun, Boediono menyebut usulan itu sebelumnya tidak dibicarakan terlebih dulu dalam rapat bersama anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) melainkan langsung dibawa ke rapat kabinet.
"Terdakwa yang mengusulkan," kata mantan wakil presiden itu saat hadir menjadi saksi dalam sidang BLBI dengan terdakwa Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis (19/7).
Menjadi Menkeu sejak Agustus 2001 hingga Oktober 2004, Boediono aktif menjadi anggota KKSK sehingga mengetahui tentang kebijakan tersebut.
Penghapusan piutang itu disebut oleh terdakwa sebagai penghapusbukuan atas piutang yang dimiliki BDNI atas petani tambak Dipasena.
"Penghapusbukuan yaitu penghapusan atau pengurangan. Tentunya ada prosedurnya," ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Boediono juga mengatakan bahwa dari hasil laporan audit Tim Bantuan Hukum bahwa Sjamsul Nursalim diharuskan membayar kewajiban sebesar Rp1,1 triliun setelah menuntaskan kewajiban Rp428 miliar.
Sementara itu, nominal piutang tak tertagih Rp2,8 triliun yang diusulkan dihapus oleh terdakwa menurutnya bisa dilakukan apabila Sjamsul sudah memenuhi kewajibannya terlebih dulu di antaranya memenuhi kewajiban terhadap pemegang saham atau misrepresentasi.
Namun, hingga akhirnya dana BLBI cair, Boediono mengatakan tak pernah menerima laporan misrepresentasi BDNI dari BPPN.
"Saya tidak pernah melihat laporan itu," ujarnya.
Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa telah mengeluarkan SKL kepada BDNI agar bank tersebut mendapat dana BLBI sebesar Rp4,8 triliun.
Padahal diketahui piutang petani tambak Dipasena kepada BDNI telah dinyatakan sebagai kredit macet sehingga, pernyataan misrepresented yang dikeluarkan BDNI sebagai salah satu syarat BLBI tidak tepat.
Syafruddin pun dianggap merugikan negara Rp4,8 triliun. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved