Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
MANTAN Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti menyebut dalam rapat kabinet tidak ada persetujuan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri soal penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Dorodjatun mengonfirmasi hal itu ketika hadir sebagai saksi atas kasus penerbitan SKL untuk pencairan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Senin (16/7).
"Tidak ada (persetujuan presiden)," kata Dorodjatun.
Jaksa kemudian menanyai Dorodjatun mengenai pihak yang pertama mengusulkan penerbitan SKL bagi BDNI yang dibawa dalam rapat kabinet pada Februari 2004 itu.
"Iya, diusulkan (terdakwa) dalam rapat kabinet," ujarnya.
Meski tidak ada persetujuan Presiden, Dorodjatun menilai tidak ada penolakan terhadap usulan itu dari tokoh-tokoh yang hadir pada rapat tersebut.
Rapat kabinet itu diketahui dihadiri mantan wakil presiden Boediono yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan, Hamzah Haz selaku wakil presiden, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, dan Yusril Ihza Mahendra selalu Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Usulan itupun akhirnya dijalankan meski Dorodjatun mengetahui bahwa banyak ketentuan sebagai bank penerima BLBI yang tidak dapat dipenuhi oleh BDNI.
"Saya melihat karena sudah dibawa ke sidang kabinet, buat saya itulah yang harus dilaksanakan. Menurut saya, apa yang dikatakan rapat kabinet itu (harus dijalankan)," terangnya.
Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa telah mengeluarkan SKL kepada BDNI agar bank tersebut mendapat dana BLBI sebesar Rp 4,8 triliun.
Padahal diketahui piutang petani tambak Dipasena kepada BDNI telah dinyatakan sebagai kredit macet sehingga, pernyataan misrepresented yang dikeluarkan BDNI sebagai salah satu syarat BLBI tidak tepat.
Syafruddin pun dianggap merugikan negara Rp 4,8 triliun. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved