Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di gedung MK, Jakarta, Selasa (3/7). MK menilai pasal 222 dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2107 tentang Pemilihan Umum (UU 17/2017) yang mengatur presidential threshold sudah pernah diuji bahkan sampai ditolak MK, sehingga pemohon harus mengajukan pembahasan baru.
"Harus ada argumen baru karena pasal yang sama ini pernah diuji dan ditolak. Kalau tidak ada alasan baru yang mau dibahas, uji materi ini bisa selesai, terang Hakim MK Saldi Isra saat sidang.
Dalam sidang pendahuluan perkara nomor 49/PUU-XVI/2018 itu, hakim konstitusi meminta pemohon mengajukan pembahasan baru yang dibarengi dengan penyusunan perbandingan terhadap pokok yang diujikan. Dengan demikian dapat terlihat perbedaan dengan permohonan pemohon yang sebelumnya ditolak MK.
"Untuk alasan atau pembahasan lainnya silahkan pemohon susun dan bisa diajukan kembali. Jika sama saja dan tidak ada hal baru maka MK bisa kembali menolak karena pembahasannya sama saja," tandas Saldi.
Sebagaimana diketahui, MK sebelumnya sudah menolak uji materi pasal tersebut. Dengan demikian, syarat pengusungan capres-cawapres tidak berubah yakni, partai politik atau gabungan partai politik harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.
Pasalnya, pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 digelar serentak. Ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu.
Salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay mengaku, argumentasi permohonan uji materi tersebut sebenarnya berbeda dibandingkan permohonan sebelumnya. Oleh karena itu ia dan 11 pemohon lainnya optimistis uji materi tersebut tetap akan dikabulkan MK.
"Apa yang sama. Berbeda kok. Iya kami tetap optimistis," terangnya.
Hadar menilai, ketentuan pasal 222 UU 17/2017 tentang pemilu bertentangan dengan pasal 6a ayat (2) UUD. Dia menegaskan, ambang batas tidak dikenal dalam konstitusi terlebih dalam pasal 6 a ayat 2. "Itu bukan open legal policy," ungkap Hadar.
Adanya celah ini, menurutnya, akan menjadi argumen baru untuk mereka bahas bersama MK. "Ini akan kita bahas kembali dalam sidang bersama MK," imbuh Hadar. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved