Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) harus konsisten dengan putusan yang telah diambil dalam uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Demikian pernyataan Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate saat menanggapi adanya permohonan uji materi terhadap pasal tersebut yang kembali diajukan sejumlah tokoh.
“Itu kewenangan MK. Kami serahkan kepada MK, tetapi sudah ada preseden MK (pernah) mengambil keputusan menolak gugatan tersebut. Kami berharap untuk kepastian hukum, MK konsisten dengan putusan,” kata Plate kepada Media Indonesia, kemarin (Senin, 18/6/2018).
Pada Kamis (11/1), MK menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 222 yang diajukan Partai Idaman sebagaimana teregistrasi dengan nomor perkara 53/PUU-XV/2017.
Namun, baru-baru ini mantan Wamenkum dan HAM era SBY Denny Indrayana, mantan Menkeu era SBY Chatib Basri, mantan pemimpin KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pemimpin KPK Busyro Muqoddas, dan beberapa aktivis kembali mengajukan uji materi presidential threshold. Menurut mereka, Pasal 222 yang mengatur partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20% kursi di DPR atau 25% perolehan suara sah nasional untuk dapat mengajukan calon presiden pada Pilpres 2019 itu tidak sesuai dengan amanat UUD 1945.
Lebih lanjut, Plate meminta MK lebih mencermati para pihak yang mengajukan uji materi itu. “Apakah memiliki kedudukan hukum? Mesti dicek benar-benar apakah mereka anggota partai atau mantan fungsionaris partai yang melekat hubungannya dengan partai.”
Pakar hukum tata negara Mahfud MD justru menilai MK sulit mengabulkan permohonan uji materi ambang batas pencalonan presiden 20%.
“Secara prosedural bisa saja uji materi yang sudah ditolak MK diajukan kembali, tetapi secara substansial rasanya sulit MK mengabulkan uji materi itu,” ujar Mahfud dalam acara Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV, kemarin.
“Bila MK mengabulkan uji materi, keputusan MK itu bersifat final dan mengikat, tetapi kalau MK tidak mengabulkannya, uji materi bisa dilakukan berkali-kali dengan argumentasi baru. Jadi, secara prosedural boleh, tetapi tanpa bermaksud memengaruhi MK, secara substansial, yakni terkait sistem presidensial, rasanya MK sulit mengabulkannya,” lanjut Mahfud.
Ia menambahkan, jika MK mengabulkan permohonan uji materi Denny Indrayana dkk, itu akan mengganggu tahapan pemilu. Pada Agustus, tahap pendaftaran calon presiden dan wakil presiden akan dilakukan.
Terseleksi
Salah satu pemohon uji materi, Hadar Nafis Gumay, mengaku permohonan di MK tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.
“Kami ingin memperbaiki aturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi sehingga masyarakat tidak bebas memilih capres dan cawapresnya. Makanya perlu diperbaiki,” ujar Hadar.
Hadar pun menepis permohonan uji materi terkait dengan pasangan calon atau partai politik tertentu. “Bukan, bukan, bukan. Tidak ada itu. Saya tidak memikirkan pasangan calon atau partai politik mana pun.”
Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, memandang gugatan atas presidential threshold wajar dan substansial. “Saya melihat produk hukum ini dibuat untuk jangka pendek, yakni Pemilu 2019. Bukan long time. Tanpa presidential threshold, kandidat presiden akan terseleksi kok.” (Uks/Opn/*/Ant/X-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved