Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
PENGAMAT politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro memandang gugatan yang dilayangkan sejumlah aktivis dan akademisi atas aturan soal ambang batas dalam pemilihan presiden atau presidential threshold merupakan hal yang substansial. Pasalnya, produk hukum tersebut dinilainya hanya dibuat untuk keperluan jangka pendek semisal Pilpres 2019 saja.
Selain itu, argumentasi terkait kekhawatiran akan membludaknya calon presiden akibat tidak adanya aturan tersebut dinilainya tidak memiliki urgensi yang substansial. Pasalnya, hal tersebut masih bisa disiasati melalui mekanisme penjaringan calon kandidat presiden melalui partai.
"Saya melihat produk hukum ini dibuat hanya untuk jangka pendek saja yakni keperluan Pemilu 2019 saja. Bukan long time. Tanpa adanya presidential threshold pun, kandidat presiden akan terseleksi kok. Artinya saya melihat gugatan ini memang secara substansi untuk kepentingan demokrasi," katanya saat dihubungi Media Indonesia, Senin (18/6).
Pasal menyoal presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memang membatasi jumlah kandidat yang bisa berlaga di pemilihan presiden 2019. Gugatan ini diharapkan membuka ruang bagi munculnya lebih dari dua calon presiden.
Siti pun mengatakan, kalau sistem tersebut dipaksakan, akan menunjukan kemunduran sistem demokrasi. Pasalnya, jika bicara pilihan politik dan sistem demokrasi, sedianya masyarakat disuguhkan berbagai macam calon pemimpin sehinggat bisa memilih yang dianggap memiliki kapasitas mumpuni.
"Kalau pemenangannya sudah disiapkan sejak jauh hari, buat apa kita mengikuti proses demokrasi. Ini kan jadi seperti sistim otoriter," katanya.
Dia pun mengungkapkan bahwa beratnya persyaratan pengajuan presiden menyebabkan pembentukan koalisi permanen antara partai politik sulit terjadi. Alhasil, terbentuknya koalisi yang saat ini ada amatlah cair dan baru bisa terlihat di akhir-akhir masa pencalonan Agustus nanti.
"Kompetisi atau kontestasi yang merupakan inti dari demokrasi semestinya diberikan peluang, sehingga tak ada kebijakan yang menyulitkan yang membuat parpol mengalami jalan buntu dalam Pemilu 2019 nanti," kata Siti.
Aturan ambang batas digugat kembali ke MK oleh 12 tokoh publik di antaranya mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqqodas dan Bambang Widjojanto; mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri; serta mantan pemimpin Komisi Pemilihan Umum Hadar M. Gumay.
Ada pula sejumlah akademisi, seperti Rocky Gerung, Faisal Basri, dan Robertus Robert. Tak hanya itu, ada Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Perludem Titi Anggraini, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, sutradara Angga Dwimas Sasongko, dan pekerja profesional, Hasan Yahya.
Selain 12 tokoh publik tersebut, Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, juga mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke MK.
Gugatan terhadap aturan ini pun bukanlah yang pertama kali diujikan ke MK. Sebelumnya MK sendiri pernah menolak uji materi yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra pada 2017 silam. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved