Penyelesaian Sengketa Pilkada tidak Bisa Kembali ke MK
Indriyani Astuti
13/2/2015 00:00
()
WAKIL Ketua Badan Legislasi Saan Mustopa menyatakan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak memungkinkan apabila diselenggarakan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Karena secara konstitusional MK telah menyatakan pilkada bukan rezim pemilu. Bila dikembalikan ke MK akan menimbulkan masalah.
“Problemnya secara konstitusional MK tidak berhak menganani sengketa pilkada melalui putusan yang final dan mengikat. Artinya, kalau kita kembalikan ke MK dan kita menugaskan undang-undang pasti akan ada masalah lagi karena bertentangan konstitusi,†ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (13/2).
Di samping itu, mayoritas fraksi di DPR termasuk Demokrat, PPP, PKB, dan PDIP menginginkan sengketa pilkada ditangani oleh MA. Mereka menilai MA lebih memungkinkan dari segi infrastruktur dan jumlah hakimnya.
Untuk mengurangi beban MA, Saan menjelaskan penanganan sengketa pilkada akan dibuat mekanisme berjenjang. Untuk pemilihan bupati/wali kota akan dilimpahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang ditunjuk oleh MA. Sedangkan pemilihan gubernur rencananya ditangani oleh MA tanpa ada proses banding.
“Supaya tidak membebani MA dibatasi aja misalnya untuk bupati wali kota di PTUN dan satu tingkat aja, ga ada proses banding,†terang politikus Partai Demokrat itu.
Saan menjelaskan, dalam revisi UU Pilkada turut diatur mengenai presentase selisih maksimal dalam mengajukan gugatan hasil pilkada. “Kita atur, mereka yang boleh mengajukan gugatan selisihnya maksimal 2%,†imbuh anggota Komisi II tersebut.
Terpisah, anggota Komisi II dari Partai Persatuan Pembangunan Arwani Tomafi mengungkapkan telah ada beberapa poin dalam pembahasan revisi UU pilkada yang dicapai antara pemerintah dan DPR. Antara lain, Komisi Pemilihan Umum diberi kewenangan menjadi penyelenggara pilkada, syarat jenjang pendidikan calon kepala daerah paling rendah adalah SMA dengan batas usia minimal 25 tahun untuk bupati/wali kota dan 30 tahun bagi calon gubernur.
“Syarat dukungan pencalonan dari partai sebesar 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah di wilayah pemilihan,†jelasnya. Terkait pembahasan anggaran pilkada diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemilihan terpisah atau paket, serta ambang batas pencalonan dari partai politik perseorangan atau independen masih belum mencapai kesepakatan. (P-3)