Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
KEBEBASAN berpendapat dan berekspresi via media sosial, seperti penyampaian pesan dengan label hastag atau tagar (#) yang kini marak, perlu disikapi oleh Bawaslu dan KPU. Penyelenggara pemilu tidak boleh diam. Apalagi, itu menimbulkan intimidasi dan persekusi terhadap masyarakat yang berbeda pandangan.
Berkenaan dengan hal itu, Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum mengimbau masyarakat, termasuk partai politik, relawan, dan tim sukses untuk tidak melanggar rambu pemilu.
Pada prinsipnya, masyarakat dipersilakan melakukan gerakan, tapi dengan catatan tidak boleh diinisiasi oleh parpol dan menyertakan logo parpol dalam setiap kegiatan. "Kami mengimbau seluruh pihak, silakan gunakan kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai ketentuan perundangan," ujar anggota Bawaslu Rahmat Bagja, akhir pekan lalu.
Gerakan kelompok masyarakat yang berbeda pandangan mengenai calon presiden yang belakangan menghiasai jejaring sosial, kata dia, masih terlalu dini untuk diperdebatkan. Pasalnya, pendaftaran capres dan cawapres baru dibuka Agustus mendatang dan pertarungan pun bakal berlangsung di 2019.
"Bawaslu sudah beberapa kali menyatakan hal itu. Kita harapkan setelah itu ada argumentasi yang dibangun kedua belah pihak. Ini kan belum kampanye. Kami harapkan kampanye presiden atau pengerahan massa tidak ditarik ke bulan ini. Jangan sampai ada kampanye di luar jadwal," katanya.
Ketua KPU Arief Budiman menyatakan semakin banyak orang yang merespons soal tahapan pemilu dan menggairahkan orang lain mengenai pesta demokrasi parut diapresiasi. Namun, itu tidak berlaku jika sosialisasi justru sarat fitnah, ujaran kebencian, dan propaganda. "Jadi, sebaiknya kita harus saling menghargai. Masyarakat punya ide dan berpendapat, ya tentu harus tahu hak dan batasannya," ujarnya.
Ia menilai maraknya pesan tagar merupakan fenomena yang bukan sekadar arena pertarungan. Peperangan yang melibatkan banyak dimensi dan aspek itu tidak boleh dikonotasikan sebagai sebuah hal negatif.
Karena itu, imbuhnya, KPU berharap agar masyarakat selaku pemilih harus cerdas menerjemahkan pelbagai informasi, kemudian memaknai dan mengambil kesimpulan dari seni mereka berdiplomasi.
"Sebetulnya bukan sekadar pertarungan. Ini sudah sebuah peperangan karena melibatkan banyak aspek dan dinamika. Namun, sesungguhnya peperangan itu adalah seni dari cara mereka berdiplomasi, ada via medsos, pengerahan massa, dan membangun ideologi," tandasnya.
Kepentingan kelompok
Pengamat media sosial, Nukman Luthfie, mengatakan sebuah tagar dibuat awalnya hanya untuk memudahkan pengarsipan di media sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, tagar yang kemudian sering muncul jelang Pilpres 2019, sengaja dibentuk untuk membela kepentingan kelompok. Sebuah tagar yang beredar menjelang pilpres bisa menjadi gerakan apabila mewakili seatu pihak.
"Karena memang ada pasarnya. Kan ada Pemilu 2019, pasti ada pihak pendukung Presiden Jokowi untuk kembali memimpin di periode kedua dan ada yang bukan pendukung Presiden Jokowi. Itu sah saja," ujar Nukman.
Lebih lanjut, kata dia, yang menjadi persoalan apabila dalam arena offline ada intimidasi terhadap salah satu pihak. Pada Minggu (29/4), kelompok yang menggunakan tagar #2019GantiPresiden bertemu dengan kelompok yang menggunakan tagar #DiaSibukKerja di area hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Ekspresi kebebasan itu dikotori aksi intimidasi yang dilakukan oleh kelompok #2019GantiPresiden.
"Perang tagar itu sehat karena basisnya data, seperti utang luar negeri. Saya melihatnya politik ketika kita bebas berargumentasi dasarnya data dan media mainstream, itu lebih sehat daripada memendam dan keluar di offline. Asalkan patuhi hukum, bukan hate speech dan fitnah," tandasnya.
Pengamat media sosisl lainnya, Enda Nasution, menilai gerakan #2019GantiPresiden hanya gimmick (tipu muslihat). Pasalnya, jarang menjadi trending topic. Sama halnya dengan pihak yang menggelontorkan tagar #TetapJokowi.
"Gimmick semacam itu efektivitasnya sangat minim. Apalagi, jika di Twitter yang muncul hanyalah jumlah akun dan jumlah tweet, bukan real user." (Nov/Pol/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved