Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
ANGGOTA Pansus RUU Antiterorisme, Arsul Sani, tidak menampik pembahasan UU itu memakan waktu lama sehingga kini belum selesai dibahas di DPR. Ia mengungkapkan bahwa persoalan peran TNI dalam memberantas terorisme menjadi penyebab lambannya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
"Persoalan peran TNI, salah satu penyebab, mengapa pembahasan RUU ini lama," kata Arsul dalam diskusi publik dengan tema Nasib pembahasan revisi UU Antiterorisme di DPR, di Kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (29/3).
Dikatakan Arsul, pemerintah pun ternyata tidak satu suara mengenai peran TNI dalam memberantas terorisme. "Ketika berbicara peran TNI, pemerintah sudah seperti DPR alias banyak faksinya, harusnya kan (pemerintah) satu," kata Arsul.
Selain itu, lanjutnya, perspektif DPR pun tidak hanya mencerminkan pandangan fraksi masing-masing, tetapi anggota dewan juga memiliki perspektif dari komisi asal mereka. Untuk diketahui, pembahasan revisi UU Antiterorisme itu dibahas di pansus yang anggotanya berasal dari Komisi I dan Komisi III DPR.
"Dari DPR tidak hanya mencerminkan pandangan fraksi, tapi juga pandangan anggota di komisi mana dia duduk. Ditambah suara dari elemen-elemen masyarakat sipil sehingga perdebatannya panjang," tambahnya.
Meskipun demikian, Arsul mengatakan bahwa DPR menargetkan revisi UU Antiterorisme rampung pada akhir April 2018. UU Antiterorisme dibutuhkan karena undang-undang yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 15 Tahun 2003 hanya bersifat penindakan dan tidak ada ruang pencegahan munculnya terorisme di Indonesia.
Definisi
Selain peran TNI, UU Anti-terorisme juga belum selesai dibahas karena DPR dan pemerintah belum menyepakati definisi terorisme itu. Soal ini, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan bahwa tindak pidana terorisme harus didefinisikan sebagai tindak pidana kejahatan, bukan sebagai kejahatan keamanan negara. Selain itu, tindak pidana terorisme juga diartikan sebagai bentuk ancaman kekerasan.
"Ketiga, menimbulkan rasa teror. Keempat, ada tujuan politik," katanya di Jakarta, Kamis (29/3).
Namun, ia menegaskan definisi tindak pidana terorisme yang dimaksud tidak termasuk kritik yang dilontarkan oleh kelompok oposisi terhadap pemerintah. "Supaya kemudian masyarakat yang kritis terhadap penguasa tidak dikategorikan sebagai teroris," sambungnya.
Al Araf juga mendesak UU Antiterorisme dibahas secara lebih teliti. Salah satunya, ia meminta pemerintah mengoreksi bunyi Pasal 43 H tentang teknis pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang yang dikatakan diatur dalam peraturan presiden (perpres). Padahal, seharusnya itu tertuang dalam undang-undang atau peraturan pemerintah (PP). (P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved