Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Politik Uang Redup, Hoaks Subur

Putri Rosmalia Octaviyani
10/3/2018 10:37
Politik Uang Redup, Hoaks Subur
((Dari kanan) Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Wakil Direktur Watch for Democracy (IWD) Abi Rekso dan David dari Geotimes---MI/BARY FATAHILLAH)

PENGARUH politik uang untuk memenangi kontestasi politik semakin melempem dan membuat hoaks menjadi alternatif baru untuk menjatuhkan lawan.

“Pengaruh politik uang dalam pilkada itu saat ini hanya 30% saya kira. Karena orang tahu bahwa memilih yang memberikan uang itu salah,” kata pemerhati politik dan media sosial Ray Rangkuti dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Watch for Democracy di Jakarta, kemarin (Jumat, 9/3/2018).

Menurur Ray masyarakat bisa enggan memberikan suara dalam pilkada karena semua kontestan justru melakukan politik uang. Hal inilah yang menyebabkan partisipasi masyarakat dalam pilkada semakin rendah dari periode ke periode.

“Karena kanan kiri memberi dia, jadi bingung dan akhirnya tidak mau datang ke TPS (tempat pemungutan suara),” ungkapnya.

Hal ini pun membuat berbagai pihak menjadikan kampanye politik identitas dan hoaks sebagai senjata andalan dalam menjatuhkan lawan dan meningkatkan elektabilitas.

“Hal itu sudah terlihat di Pilkada DKI. Hoaks digunakan setidaknya untuk menahan elektabilitas se-seorang dan akhirnya ditiru daerah-daerah lainnya.’’

Selain itu, kian masifnya penyebaran berita bohong di tengah-tengah masyarakat ditengarai karena sikap permisif partai politik. Sikap permisif itu ditunjukkan oleh seluruh parpol.

“Jika tidak menjadi korban, mereka diam. Seolah membiarkan saja, bukannya ikut mengecam. Jika jadi korban, baru mereka teriak, eh, saya ini korban loh,” kata Ray.

Ray menilai parpol berkaitan erat dengan produksi hoaks. Sebuah keniscayaan bahwa setiap parpol akan memanfaatkan hoaks demi memenangi kontes politik.

“Di daerah A bisa saja dia teriak antihoaks karena jadi korban, elektabilitas menurun. Tapi, tidak demikian di daerah lain, justru bisa menjadi pelaku penyebar atau pembuat hoaks,” ujarnya.

Kehilangan makna

Pengamat politik Boni Hargens menambahkan saat ini oposisi justru membuat kritik liar yang disertai dengan isu politik identitas. “Oposisi hari ini dipahami sebagai upaya menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan,” kata Boni dalam keterangan ter-tulisnya.

Hal tersebut ditengarai karena oposisi sulit untuk menemukan celah dari era pemerintahan saat ini. Selain itu, mulai maraknya hoaks atau berita bohong di tengah masyarakat juga turut digunakan untuk menghantam partai penguasa.

“Isu SARA dihidupkan, politik uang dijalankan, kampanye hitam dilancarkan. Oposisi ini saya sebut oposisi mengambang, yaitu oposisi yang tidak mempunyai pijakan ideologi di tengah masyarakat mengambang dan kehilangan arah dan tujuannya,” papar Boni.

Boni menilai oposisi bisa kehilangan makna akibat hilangnya kreativitas berpikir, oposisi tak mampu menemukan cara cerdas dan demokratis untuk mendelegitimasi kekuasaan pemerintah.

Kedua, kritikus yang menja-di partisan oposisi mengalami bias bepikir. Mereka memiliki kecenderungan mencari informasi untuk membenarkan asumsi hipotetik.

Ketiga, ada keterbukaan melalui media sosial yang menggeser peran oposisi formal. Dua fakta saling mendukung yakni parlemen kehilangan kepercayaan publik dan bangkitnya demokrasi digital yang tidak disertai kesiap-an aturan hukum. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya