Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
Ayah-anak, Asrun dan Adriatma Dwi Putra yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT) pada Rabu (28/2) dini hari, menunjukkan dinasti politik menjadi gelanggang mengumpulkan pundi-pundi untuk biaya politik.
Dugaan korupsi yang terjadi dalam OTT tersebut, ditenggarai dipakai Asrun untuk kepentingan kampanye dalam posisinya sebagai calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun ini. Asrun merupakan Wali Kota Kendari dua periode, yaitu pada 2007-2017, yang kemudian digantikan putranya, Adriatma.
Dalam kasus ini, diduga Adriatma meminta bantuan dana kampanye kepada Dirut PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah. KPK menyebut PT SBN merupakan rekanan kontraktor jalan dan bangunan di Kendari sejak 2012.
Pada Januari 2018, PT SBN memenangi lelang proyek jalan Bungkutoko-Kendari New Port senilai Rp.60 miliar. Hasmun lalu memenuhi permintaan itu dengan menyediakan uang total Rp.2,8 miliar. Selain keduanya, KPK juga mengamankan lima orang lainnya dalam OTT tersebut.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai apa yang terjadi di Kendari merupakan konsekuensi tidak dibatasinya dinasti politik.
Menurutnya, demokrasi tidak boleh disimbolkan dengan kuasa keluarga tertentu. Sebab, ujar Feri, dinasti politik membuat kesempatan orang lain hilang dalam mengakses jabatan tertentu terutama jabatan di legislatif.
Ditegaskan Feri, berdasarkan konstitusi semua orang berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. "Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 sudah terang menjelaskannya," tukas Feri, Minggu hari ini.
Maka itu, dia berharap ada upaya jelas dalam membatasi dinasti politik agar tidak ada kecenderungan ingin menguasai kekuasaan dengan tujuan hegomoni keluarga. (OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved