Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
ULAMA perempuan yang tergabung dalam Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyerukan agar seluruh elemen bangsa bersatu menjaga keutuhan bangsa. Hal itu menyusul sejumlah peristiwa yang baru-baru ini terjadi di berbagai tempat di Tanah Air, antara lain penyerangan pemuka agama dan masifnya penyebaran ujaran kebencian di media sosial.
"Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang didukung teknologi komunikasi disalahgunakan banyak pihak untuk memproduksi hoax dan ujaran kebencian. Kebebasan juga telah disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat," kata pimpinan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, Jawa Tengah, Hindun Anisah, dalam jumpa pers yang digelar para alumni Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu di Jakarta, Kamis (1/3).
Menurut Hindun, gejala intoleransi yang muncul belakangan ini menjadi ancaman serius bagi persatuan Indonesia. Bahkan menjadi hambatan serius untuk mewujudkan cita-cita luhur agama sebagai pembawa perdamaian.
Pimpinan Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadis, Bekasi, Badriyah Fayumi mengatakan gejala intoleransi tampak jelas semakin menguat. Proses penyebaran ujaran kebencian terjadi masif. Itu terbukti dengan pengungkapan kasus sindikat pembuat hoax Muslim Cyber Army (MCA) yang berhasil dibekuk kepolisian.
Dia menyatakan ujaran kebencian rentan dipolitisasi. Terlebih saat mendekati pelaksanaan pemilihan kepala daerah seperti sekarang. Badriyah pun berpesan kepada para calon kepala daerah agar tidak memanfaatkan isu agama sebagai bahan kampanye menjatuhkan lawan politik. Pasalnya, itu bisa memecah kohesi sosial di masyarakat.
"Sebarkanlah pesan agama yang ramah dan toleran. Kontestasi politik harus yang saling menghormati. Mendakwahkan Islam harus dengan cara yang mempersatukan bukan yang membakar," tegas Badriyah.
Seruan tersebut didukung lebih dari 130 ulama perempuan. Ada 5 seruan yang digaungkan. Pertama mengajak kontestan pilkada serentak untuk tidak menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik yang memecah-belah bangsa. Kedua, meminta penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus penyebaran ujaran kebencian.
Ketiga, mengajak tokoh agama dan organisasi masyarakat untuk bergandeng tangan saling menjaga rumah ibadah dari aksi pengerusakan. Keempat, merawat tradisi dan kearifan lokal sebagai perekat persaudaraan. Kelima, mengajak berbagai organisasi keagamaan untuk intensif membangun ruang dialog.
Ikrar kebangsaan
Ketua PW Fatayat NU Yogyakarta, Khotimatul Husna, menyatakan gelaja intoleransi memang tengah mengoyak Yogyakarta. Hal itu tercermin dari peristiwa penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Februari lalu.
Karena itu, pihaknya saat ini tengah menyiapkan deklarasi kebangsaan pada 29 April mendatang sebagai momen simbolik untuk mengembalikan intoleransi di kota pelajar yang sekaligus juga kota santri itu. Pihaknya sudah menggalang dukungan dari berbagai organisasi perempuan, organisasi agama lintas iman, organisasi masyarakat serta pemuda, dan kalangan akademisi.
"Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan GKR Pembayun juga akan membacakan deklarasi kebangsaan," kata Khotimatul.
Dosen STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah mengatakan pendidikan untuk menangkal ujaran kebencian amat penting baik itu pesantren maupun di komunitas majelis taklim. "Kami melatih guru-guru sekolah untuk membedakan hoax. Di tingkat komunitas kami juga melakukan pelatihan semacam itu."
(Dhk)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved