Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
PERJALANAN Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-E masih panjang. KPK diharapkan fokus pada penanganan kasus itu, seperti mengusut keterlibatan pihak lain, mencari aset negara yang hilang, serta menelusuri sejumlah nama yang sempat disebut dalam surat dakwaan.
Ketua Bidang Hukum DPP Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan proses pengusutan perkara korupsi KTP-E masih berada di tahap awal. Ia pun mengimbau KPK dan semua pihak bersedia mengawal proses hukum itu.
"Kasus itu baru 10%-20% perjalanannya. Kalau perjalanan pendek sudah banyak bias, misalnya nama-nama yang hilang, kita khawatir jika tidak dikawal dan lengah akan banyak lagi bias yang timbul di kemudian hari," ujar Habiburokhman di sela-sela diskusi Catatan Hitam KTP-E di Cikini, Jakarta, kemarin.
Senada disampaikan Wakil Sekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsudin. Ia menegaskan Partai Demokrat tetap mendukung kinerja KPK untuk membongkar kasus itu, termasuk mengusut sejumlah nama yang disebut dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Kita akan paling depan mendukung asalkan KPK juga bekerja terang-benderang. Contoh, ada nama yang hilang itu harus diungkap karena ini menjadi catatan yang selalu ditagih rakyat. Kami juga mempertanyakan nama yang hilang dan butuh penjelasan."
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menambahkan sejatinya KPK tidak hanya diharapkan menelusuri nama-nama yang hilang, tetapi perlu juga menyelisik para pihak yang dianggap diuntungkan dari kalangan swasta dan parpol.
Menurut dia, dalam konteks korupsi harus dipahami bahwa prosesnya bukan sekadar bagaimana pihak-pihak yang terlibat dapat bertanggung jawab secara individu. Namun, poin yang tidak kalah penting ialah mengembalikan kerugian keuangan negara Rp2,3 triliun, serta menelusuri aliran dana ke pihak swasta dan parpol.
Ia mengemukakan ada surat edaran Mahkamah Agung (Sema) yang telah mengatur terkait korporasi. Artinya, secara hukum acara korporasi dapat dijerat hukum, apalagi berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) parpol juga termasuk dalam klasifikasi korporasi.
"Ini juga menjadi pertanyaan buat KPK kenapa kasus KTP-E tidak menggunakan UU TPPU. Padahal, KPK diawal pernah bilang ada yang diuntungkan dan ada yang mengalir ke sana kemari," terang dia.
Pada kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara Satya Arinanto, berharap drama kasus korupsi KTP-E segera berakhir dengan mengungkap semua pihak yang terlibat. Ia memandang kasus itu justru mengurangi kualitas fisik KTP-E serta berdampak tidak tercapainya sarana single identity number. (Gol/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved