Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KONDISI darurat hanya akan menunda kehidupan demokrasi untuk sementara waktu. Hal itu karena kondisi darurat akan meniadakan hukum, pembagian kekuasaan, dan pengakuan terhadap kalangan minoritas.
"Negara harus menempatkan status darurat sebagai pengecualian. Berarti tidak boleh terlalu sering dideklarasikan. Karena kalau keadaan darurat terlalu sering dideklarasikan, tidak ada lagi perbedaan antara darurat dan yang normal," kata Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo di Gedung Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, kemarin.
Agus mengatakan itu saat ujian terbuka doktor untuk disertasi berjudul Normalisasi Status Darurat sebagai Potensialitas dalam Negara Demokrasi: Telaah Kritis atas Pemikiran Politik Giorgio Agamben.
Disertasi tersebut dipromotori oleh Michael Sastrapratedja dengan kopromotor A Sudiarja dan Robertus Robert. Penguji disertasi diketuai oleh Justinus Sudarminta dengan anggota penguji Alois Agus Nugroho dan Karlina Supelli.
Agus yang menjadi komisioner Dewan Pers periode 2010-2013 itu menjelaskan, dalam kondisi darurat, pemerintah bisa menganulir peran pengadilan atau DPR, membatalkan hukum, bahkan melakukan kekerasan atas nama keamanan nasional.
Kondisi darurat, lanjut dia, juga membenarkan tindakan persekusi dan memersonanongratakan kaum minoritas.
"Deklarasi darurat sama saja men-delay (menunda) demokrasi untuk sementara waktu. Makanya darurat hanya dinyatakan untuk kasus khusus," kata Agus.
Agus menceritakan bahwa disertasi itu mulai disusun sejak 2013. Latar belakangnya ialah munculnya peraturan daerah (perda) syariah di sejumlah daerah yang melarang kalangan syiah menjalankan ibadah.
Padahal, konstitusi telah menjamin kemerdekaan bagi tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Karena itu, sambung dia, meski penyusunan perda dilakukan secara konstitusional, yakni pembahasan antara pemda dan DPRD, produk perda tersebut sama saja telah menetapkan kondisi darurat. Dengan kata lain, lanjut dia, perda menjadi sebuah produk hukum yang menangguhkan hukum yang lebih tinggi. "Kebencian terhadap kalangan Syiah atau Ahmadiyah memunculkan perda untuk merelokasi mereka tanpa proses hukum." (Nur/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved