Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna DPR pada Rabu (25/10).
Anggota DPR dari F-PDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan RUU tersebut akhirnya disahkan setelah tidak kurang dari 7 tahun proses pembahasan, akhirnya Indonesia memberikan komitmen yang lebih baik bagi Pekerja Migran Indonesia. UU tersebut perlu direvisi karena UU sebelumnya lebih berorientasi pada bisnis penempatan Tenaga Kerja Indonesia
"UU ini menempatkan perlindungan negara terhadap pekerja migran sebagai prioritas. Sekaligus merupakan komitmen untuk menjalankan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No 6 Tahun 2012," ujar Rieke di Jakarta.
UU PPMI terdiri atas 13 bab dan 91 pasal. Salah satu terobosan yang sangat penting dalam UU tersebut, sambung Rieke adalah diamanatkannya pasal terkait Jaminan Sosial bagi pekerja migran dan keluarganya (Pasal 29), sesuai dengan amanat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Dengan demikian, imbuh dia, pekerja migran Indonesia dan keluarganya, di mana pun berada, berhak mendapatkan Jaminan Sosial berupa Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Saya mengucapkan apresiasi dan terima kasih kepada Komisi IX DPR RI, Timwas TKI DPR RI, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, BNP2TKI dan aktivis perlindungan pekerja migran Indonesia (Jaringan Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia, Migrant Care," tuturnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyampaikan Migrant Care mengapresiasi adanya perubahan-perubahan yang signifikan dalam RUU ini terkait tata kelola migrasi tenaga kerja terutama dengan adanya penguatan peran negara, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga pengakuan yang signifikan atas peran pemerintah di tingkat daerah (mulai propinsi, kabupaten/kota hingga tingkat desa).
Hal tersebut, ujar Anis, memperlihatkan adanya komitmen untuk menghadirkan negara dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran Indonesia.
Hal lain yang patut mendapat apresiasi, tambahnya, adalah UU ini mengamanatkan bahwa tidak boleh ada pembebanan biaya penempatan terhadap buruh migran Indonesia.
"Amanat ini harus benar-benar terwujud dalam implementasi kebijakan dan tidak boleh disabotase pada peraturan-peraturan pelaksananya," tegasnya.
Namun demikian, UU ini juga masih menyimpan beberapa kelemahan. Kelemahan itu terlihat dari Bab dan pasal tentang pelaksana penempatan, kelembagaan serta pasal-pasal yang memiliki potensi sebagai pasal karet yang bisa dibajak sehingga berpotensi melahirkan peraturan pelaksana yang merugikan buruh migran Indonesia.
"UU ini masih menyimpan potensi konflik kelembagaan mengenai kewenangan Kementerian dan Institusi/Badan Non Kementerian dalam tata kelola perlindungan buruh migran. Ini disebabkan masih belum tuntasnya pembahasan mengenai pembagian kerja dan kewenangan kelembagaan. Pasal-pasal yang dihasilkan adalah hasil kompromi," terang Anis.
Oleh karena itu, Anis menuturkan Migrant Care mendesak kepada Presiden RI untuk bisa menuntaskannya dalam penerbitan peraturan pelaksananya.
Selain itu dia menganggap UU ini juga masih membuka celah dari sektor swasta untuk menjalankan bisnis penempatan buruh migran Indonesia bahkan diatur dalam Bab tersendiri.
Kelemahan lain yang terkandung dalam UU ini, ujar Anis adalah belum adanya pasal khusus yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan buruh migran Indonesia (terutama perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting mengingat mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi situasi kerentanan yang berkepanjangan. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved