Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
TERTUTUP dengan pagar tinggi berwarna coklat. Itu kesan pertama yang terlihat pada sebuah bangunan di bilangan jalan di Kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar. Kelihatannya sepi, tapi di dalamnya terdapat puluhan pengungsi etnis Rohingya asal Rakhine, Myanmar. Mereka mengungsi ke Indonesia dan beberapa negara, (terutama Banglades) karena militer Myanmar melakukan tindak kekerasan bahkan pembunuhan tanpa manusiawi terhadap warga Rohingya yang tidak berdosa.
Rumah yang bertingkat di kompleks BTP tersebut, merupakan satu dari 12 rumah yang disewa oleh UNHCR dan IOM bagi 220 pengungsi Rohingya yang berada di Makassar. Mereka di sana sudah selama tujuh tahun, untuk mencari suaka ke negara ketiga.
Selasa (5/9) sore, tempat itu sepi. Hanya beberapa perempuan dan anak-anak pengungsi yang sedang bermain. Teryata, sebagian besar dari mereka sedang keluar lokasi tempat mengungsi. Alasannya untuk mencari udara segar.
Dan hanya itu rutinitas yang bisa mereka lakukan tiap hari. Mereka mengaku sekedar jalan-jalan dan kadang ada yang mengundang ke suatu acara.
Mereka yang keluar tersebut menggunakan kendaraan umum, ada juga yang jalan kaki, serta menggunakan sepeda. Lantaran mereka tidak boleh punya kendaraan yang bersurat, karena mereka tidak punya identitas kewarganegaraan.
Musa, 24, bercerita, selama menjejakkan kaki di Sulsel, belum sekalipun mereka mendapat perlakuan buruk dari warga Makassar. Bahkan warga Makassar menunjukkan keramahannya saat mereka tengah berdaptasi dengan lingkungan baru.
Warga yang tinggal di area sekitar penampungan mengajari mereka berbahasa Indonesia dibantu penjaga penampungan yang juga senantiasa mengajari mereka berbahasa Indonesia secara fasih.
"Karena sudah cukup lama di Makassar, bahasa Indonesia itu menjadi wajib bagi kami, selama tujuh tahun kami makan dan tidur di sini, jadi harus beradaptasi," ungkap Musa yang dibenarkan oleh pengungsi lainnya.
Selama mengungsi di Makassar, banyak suka duka yang dialami, aku Musa. Utamanya dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun kebersamaan dengan hal itu membuat semuanya lupa akan beban hidup yang dialaminya.
Ia juga bercerita, jika sebenarnya, bukan Indonesia yang mereka tuju, melainkan Australia. Sayangnya, mereka terombang-ambing di lautan lantaran awak kapal melarikan diri setelah ketahuan oleh anggota TNI yang menjaga perbatasan negara.
"Kami tiba di Indonesia tepatnya di daerah Aceh. Setelah itu disebar, ada yang ke Jakarta, Surabaya, Bandung dan Kupang lantaran tidak memiliki paspor. Setelah setahun lebih ditahan di sel tahanan, para pengungsi pun diberikan sebuah kartu imigran dari Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)," lanjut Musa.
Setelah mendapat kartu dari PBB, mereka kembali diungsikan ke kota besar seperti Makassar dan kota lainnya. Hidup di Makassar, mereka bisa merasakan sedikit kebebasan, namun tetap tidak boleh melanggar aturan yang ditetapkan.
Mereka semua, tidak boleh bekerja, keluar dari kota Makassar dan mengemudi kendaraan bermotor. Dan mereka juga ada jam malam. Mereka tidak boleh lagi keluar dari tempat penampungan setelah pukul 22.00 Wita.
"Perjalanan dari Myanmar ke Aceh hingga ditempatkan di Makassar ini dirasakan pengungsi cukup keras dan sulit. Jika dapat solusi terbaik, mereka berharap dapat merasakan kehidupan bebas yang dirasakan orang lain saat ini. Kami hanya ingin dianggap sebagai manusia yang berhak mendapatkan hak hidup dan menjalani hidup normal," urai Musa.
Selama tinggal di Makassar, 220 pengungsi asal Rohingya itu diberi bantuan berupa biaya hidup setiap bulannya dari UNHCR dan IOM. Untuk orang dewasa nilainya Rp1,5 juta dan untuk anak-anak Rp500 ribu.
Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pengungsi Rohingya ini diakui dunia internasional sangatlah besar. Setelah bertemu dengan State Counsellor Aung San Suu Kyi, di Yangon Myanmar (Senin (4/9), Menlu RI Retno LP Marsudi melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Bangladesh, Mahood Ali di Dhaka pada Selasa (5/9).
Dalam kunjungan tersebut Retno membahas rencana untuk mengalirkan bantuan kemanusiaan dari Indonesia untuk pengungsi warga muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar yang melarikan diri ke Bangladesh.
"Saya melihat pertemuan ini sangat penting dan apa yang akan didiskusikan untuk bantuan kemanusiaan," tutur Retno mengakhiri pertemuan seperti dirilis oleh Twitter Kementerian Luar Negeri RI. Pertemuan itu dilakukan saat Bangladesh masih dalam masa libur panjang Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 1 September 2017. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved