Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
GUGATAN perihal syarat minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mulai disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang pendahuluan atas uji materi pasal 7 ayat (1) itu digelar pada Rabu (23/5).
Sebelumnya, pasal tersebut juga pernah digugat pada 2014 oleh Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Putusan MK ketika itu tertuang dalam putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014 menyatakan menolak permohonan pemohon.
Kuasa hukum pemohon, Ajeng Gandini, menyebut secara khusus ingin agar frasa 'pihak wanita sudah mencapai umur 16' diubah menjadi 'pihak wanita sudah mencapai umur 19' atau sama dengan usia minimal perkawinan bagi laki-laki.
Menurut Ajeng, banyak kerugian yang diderita pemohon akibat masih berlakunya norma tersebut, yakni terjadinya diskriminasi terhadap perempuan karena hak-hak perempuan yang menikah saat usia 16 terputus setelah menikah.
"Hilangnya hak pendidikan karena pascamenikah terputus jalur pendidikan pemohon. Ketentuan usia yang berbeda menunjukkan adanya ketidaksamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki di mata hukum," ungkap Ajeng di hadapan majelis hakim konstitusi.
Selain mengancam hak pendidikan anak, ketentuan itu dinilai mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan.
"Perkawinan dini melahirkan risiko besar terhadap kesehatan ibu dan anak," ungkapnya.
Menurut dia, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan kedudukan setiap warga negara sama di muka hukum.
Dalam kesempatan yang sama, hakim panel Saldi Isra menyatakan pemohon harus bisa membedakan antara keberatan terhadap norma dan terhadap praktik implementasi norma.
Ia menyebut banyak kasus pemalsuan usia agar bisa menikah di bawah umur sebagaimana yang diatur dalam norma UU Perkawinan yang berlaku saat ini.
Namun, hal itu tidak berarti kesalahan terletak pada norma aturan yang berlaku, tetapi pada implementasi terhadap norma tersebut.
"Tidak ada persoalan norma jika yang disorot ialah hal itu, seperti yang tertuang dalam berkas permohonan pemohon," jelas Saldi.
Apalagi, sambungnya, perkara tersebut pernah diuji pada 2014.
"Saya tidak melihat ada kerugian konstitusional, tetapi hanya bersifat kerugian material. Kuasa hukum baiknya mengelaborasi kembali kerugian konstitusional untuk bisa meyakinkan mahkamah bahwa norma ini harus diubah ataupun dihapus," pinta Saldi. (Put/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved