MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengakui Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang mengatur syarat selisih surat suara sebesar 2% untuk mengajukan sengketa hasil pemilihan dapat membuat jumlah permohonan yang akan ke proses persidangan menjadi berkurang.
"Ada kemungkinan (menjadi berkurang), tetapi kita belum ke sana (menghitung gugatan memenuhi syarat). Kita konsentrasi ke berkas dulu," ujar Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Saat ini, sebanyak 147 permohonan sengketa pilkada dari 132 daerah telah masuk ke Mahkamah Konstitusi. "Apakah jumlahnya akan berkurang atau tetap, kita serahkan ke hakim karena Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi pegangan dalam penerimaan berkas." lanjutnya.
Ia menambahkan Mahkamah Konstitusi pada 31 Desember lalu telah memberikan akta permohonan lengkap kepada 33 pemohon. Sisanya, yakni sebanyak 114 pemohon, sudah diberi akta permohonan belum lengkap.
"Yang belum lengkap (114 pemohon) itu diberi kesempatan untuk memperbaiki berkas permohonan sampai besok (hari ini) pagi pukul 08.00 WIB. Kami selanjutnya memberikan nomor registrasi dan mencatat perkara tersebut dalam buku Registrasi Perkara Konstitusi," imbuhnya.
Pada 4-6 Januari mendatang, lanjutnya, Mahkamah Konstitusi akan mengadakan gelar perkara internal. Untuk permohonan yang tidak kunjung lengkap, hakim konstitusi akan bersikap pada sidang perdana 7 Januari 2016.
"Semua permohonan akan disidangkan 7 Januari mendatang. Kita sidangkan semua dengan panel. Setelah sidang pendahuluan, akan ketahuan mana gugatan yang memenuhi syarat persentase. Yang tidak memenuhi syarat akan diputus cepat pada 18 Januari," ungkapnya.
Terkait permintaan sejumlah pihak agar Mahkamah Konstitusi menyidangkan seluruh permohonan tanpa syarat persentase, kata Fajar, hal itu bergantung pada hakim konstitusi. Jika hakim melihat telah terjadi dugaan kecurangan, hakim MK dapat melanjutkan persidangan.
"Sampai sejauh ini, Mahkamah Konstitusi mengacu itu (Pasal 158) bahwa nanti dalam perkembangan persidangan (ditemukan dugaan kecurangan atau kejanggalan). Kalau menurut hakim akan dilanjutkan, ya mungkin saja. Ini kasuistis," tukas Fajar. Keadilan disingkirkan Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini merupakan salah satu pihak yang mengkritik Pasal 158. Menurutnya, pembatasan membuat tujuan keadilan pemilu menjadi disingkirkan.
Ia menegaskan keadilan pemilu mesti menjawab dan menyelesaikan keadilan materiil terhadap proses pelaksanaan pilkada secara keseluruhan. Menurut dia, Mahkamah Konstitusi harus bisa menjawab apakah pilkada sudah dilaksanakan dengan aturan dan prinsip pemilu atau belum.
"Apakah proses pelaksanaan pilkada sampai hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip serta asas pemilu yang jujur, adil, dan demokratis," jelasnya.
Mahkamah Konstitusi mesti berupaya menghadirkan keadilan pilkada yang hakiki. Jika tidak, lembaga tersebut telah mengecilkan makna pilkada hanya menjadi persoalan angka-angka.
"Padahal, hasil pilkada dibawa ke Mahkamah Konstitusi, yakni menyelamatkan kedaulatan rakyat," tutupnya. (P-5)