Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Revisi UU ASN dan Bahaya PNS tanpa Tes

Tasroh PNS di Pemkab Banyumas, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
01/2/2017 00:30
Revisi UU ASN dan Bahaya PNS tanpa Tes
(MI/VICTOR RATU)

AWAL 2017 ini, DPR baru saja menggunakan hak inisiatif untuk merevisi UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Ketua DPR Setya Novanto, revisi UU ASN mendesak dilakukan karena dua alasan. Pertama, beberapa pasal butuh perubahan, sinkronisasi, dan harmonisasi, khususnya pasal yang menyangkut tenaga honorer dan pegawai tidak tetap (PTT) untuk diangkat menjadi PNS.

Kedua terkait dengan upaya pemerintah menata ulang sistem, model, dan mekanisme rekrutmen pegawai ASN dan seleksi pejabat di saat keberadaan Komisi ASN yang berkedudukan di Jakarta selama tiga tahun terakhir belum menunjukkan makna signifikan dalam kinerja ASN. Karena itu, dalam revisi UU ASN, DPR mendesak pemerintah menghapus keberadaan Komisi ASN dengan mengembalikan peran kepada Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Penghapusan Komisi ASN mungkin memiliki filosofi yang jelas dan objektif sesuai dengan keberadaan Komisi ASN yang oleh banyak pihak sering ‘blunder’ dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka. Namun, khusus usulan DPR terkait dengan pengangkatan PNS tanpa melalui tes alias pemerintah mengangkat tenaga honorer dan PTT langsung menjadi PNS jelas sebuah langkah ‘bunuh diri’ massal. Dengan pengangkatan PNS/ASN yang melalui proses seleksi panjang dengan syarat yang kian ketat saja, pemerintah belum mampu menghadirkan kinerja dan kompetensi-profesionalisme PNS sesuai dengan dinamika tuntutan publik, pembangunan, dan pemerintahan. Apalagi jika ASN/PNS yang diangkat pemerintah tanpa melalui tes terstandar.

Bahaya besar
Pengangkatan ASN/PNS di berbagai negara mana pun kian tahun kian ketat dengan sistem dan mode seleksi yang update sesuai dengan dinamika tuntutan publik dan perkembangan lingkungan strategis di bidang pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik.

Di negara maju seperti Jepang, misalnya, pegawai pemerintah diseleksi amat ketat. Setidaknya ada lima tahapan seleksi yang harus dilalui, antara lain tes kompetensi intelektual, tes kompetensi daya inovasi, integritas, dan profesionalitas. Bandingkan dengan tahapan seleksi CPNS di RI yang hanya melalui dua tahapan seleksi. Karena itu, tidak mengherankan apabila kualitas intelektual, sosial, daya inovasi, integritas, dan profesionalitas PNS di RI jauh panggang dari api.

Maka kian menjadi ironis apabila DPR berencana mengajukan revisi UU ASN justru untuk upaya mengangkat PNS/ASN tanpa tes. Itu artinya sebanyak 439 ribu tenaga honorer dan PTT sisa tenaga kategori I yang sudah diangkat menjadi PNS pada era pemerintahan SBY, yang dikenal sangat beraroma ‘politis’, akan segera diangkat menjadi PNS. Secara otomatis pemerintah/negara harus wajib menyediakan dana segar setiap tahun sedikitnya Rp23 triliun.

Dana sebesar itu di tengah paceklik APBN sungguh besar. Masih banyak dana negara yang belum tercukupi untuk peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan karena APBN setiap tahun selalu lebih besar untuk belanja PNS/ASN (Media Indonesia, 26/1).

Pakar sosiologi pembangunan Imam B Prasojo (2017) menyebutkan, di era globalisasi dan modernisasi berbagai agenda pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik ke depan, pemerintah Indonesia masih amat butuh PNS/ASN yang berkemampuan lebih dengan tingkat inovasi, integrasi, kedisiplinan, dan sosial yang kuat.

Riset Banyumas Policy Watch di wilayah Jateng dan Jatim (sampel sebanyak 2.000 PNS—red) pada Desember 2016 menunjukkan ‘perbedaan’ signifikan dari dua jenis PNS, yakni PNS produk seleksi ketat dengan PNS berbahan baku honorer/PTT. Pertama PNS jenis seleksi massal yang ketat yang diselenggarakan terpusat dengan computer based test memiliki tingkat intelektual dan profesionalisme lebih unggul. Sebanyak 80% PNS jenis ini mampu mengerjakan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai dengan aturan, dengan tingkat inovasi, kedisplinan, 85% lebih baik daripada PNS berbahan baku honorer/PTT. Kedua, PNS berbahan baku honorer/PTT masih jauh dari harapan. Untuk kedisplinan tergolong bagus, tetapi khusus untuk kompetensi intelektual memiliki kemampuan minim.

Tentu saja ‘perilaku’ demikian bisa sama-sama berubah. Namun, berkaca pada pengalaman selama era pemerintahan SBY yang berdasarkan PP 48/2010 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, pemerintah ‘gagal’ mewujudkan kompetensi, integritas, dan inovasi di kalangan PNS/ASN. Dengan bukti, sejak pemerintahan Orba di era Presiden Soeharto hingga presiden ke-7, kinerja dan kualitas kerja PNS secara keseluruhan masih jauh dari standar. Bahkan riset terbaru Kementerian PAN dan Rebiro (2015) menunjukkan, dari 4,5 juta PNS di RI, ‘hanya’ 5% yang layak disebut sebagai abdi negara, abdi pemerintah, dan abdi masyarakat.

Untuk itu, revisi UU ASN justru harus kian memperketat seleksi CPNS sekaligus upaya negara melakukan pembinaan, pendidikan, dan pengawasan lebih ketat dan terukur agar tujuan, visi, dan misi ‘Nawa Cita’ pemerintahan Jokowi-JK tidak sekadar basa-basi. Pada pendulum inilah, upaya menerima PNS tanpa tes tak hanya beraroma politis, tetapi lebih banyak mudaratnya. Bahayanya tak hanya terkait dengan terkurasnya anggaran negara di tengah krisis, tetapi sekaligus sebagai upaya alamiah dan rasional perkembangan grafis PNS itu sendiri.

Apalagi pemerintahan Jokowi berjanji menghadirkan kualitas pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik yang lebih agresif untuk merespons dinamika nasional dan global. Maka hanya dengan seleksi CPNS yang kian tetat dan terstandar nasional, tujuan serta kebijakan pemerintah dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Saran penulis alangkah lebih baik, sebagai ekspresi ‘penghargaan’ kepada para tenaga honorer/PTT, dalam UU ASN hasil revisi semestinya dicantumkan secara jelas, tegas, dan terukur, ‘harga’ pengabdian para tenaga honorer/PTT itu dalam sistem rangking yang terintegrasi.
Dalam konteks ini, mengabdi di unit-unit instansi/lembaga pemerintah bisa dibuka dalam dua kategori. Yakni, kategori tenaga non-PNS/non-ASN dengan sistem kontrak dan model penggajian serta jaminan yang sebanding dengan kemampuan keuangan negara/daerah dan kategori PNS seleksi massal dan tersandar nasional.

Kesemuanya jenis PNS itu tetaplah perlu pembinaan, pendidikan, dan pengawasan yang ketat, terukur, dan berkelanjutan sehingga benar-benar bekerja dan mengabdi kepada negara/pemerintah. Pada pendulum inilah, UU ASN harus mencantumkan penegasan klausal sistem, model, dan mekanisme seleksi, pembinaan, penilaian kinerja, hingga evaluasi tugas pokok dan fungsi tiap PNS/ASN dengan parameter yang lebih jelas dan tegas agar tidak menimbulkan iri dengki di antara sesama PNS/ASN seperti terjadi selama ini yang menjadi biang banyak tenaga honorer/PTT menuntut menjadi PNS!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya