Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Menakar Kecintaan terhadap Bahasa Indonesia

Muhammad Muis, Bahasawan; Kepala Balai Bahasa Provinsi Jambi
20/7/2025 08:59
Menakar Kecintaan terhadap Bahasa Indonesia
Muhammad Muis, Bahasawan; Kepala Balai Bahasa Provinsi Jambi(MI/HO)

SETAKAT ini, sikap masyarakat penutur terhadap bahasa Indonesia tetap menjadi topik yang relevan diperbincangkan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi pentingnya isu ini. Bagaimana sebenarnya sikap kita terhadap bahasa nasional? Sejauh mana kecintaan itu tumbuh dan terwujud dalam keseharian?

Realitas Kebahasaan

Realitas penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik masih sangat membutuhkan perhatian bersama. Ruang publik—yakni tempat yang mudah diakses dan kerap dikunjungi, seperti mal, pasar, kawasan pertokoan dan bisnis, tempat bermain, taman hiburan, bandara, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi, dan sekolah—pada hakikatnya merupakan ruang luas untuk bertemu, bersosialisasi, berinteraksi, bersantai, bahkan menambah pengetahuan dan menjadi tempat belajar.  

Sehubungan dengan itu, sudah sepantasnya bahasa yang digunakan di ruang-ruang tersebut ialah bahasa yang baik, bernas, elok, dan mendidik—bahkan yang mampu membangkitkan kecintaan pada bahasa, budaya, dan bangsa. Kesan yang diperoleh di tempat-tempat itu cepat membekas di benak pengunjung, termasuk kesan terhadap penggunaan bahasanya. 

Di ruang publik, hingga kini masih banyak ditemukan penggunaan kosakata, frasa, bahkan kalimat dalam bahasa asing—terutama bahasa Inggris. Kenyataan itu terlihat jelas, antara lain, pada penamaan berbagai papan nama perusahaan, kompleks perumahan, gedung perkantoran, dan pusat perbelanjaan yang lebih memilih bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta sebagai ibu kota negara, melainkan juga meluas ke berbagai kota lain di luar Jakarta. Di Jakarta sendiri, jumlahnya tidak terhitung: Senayan City, Thamrin City, Central Park, Pacific Place, Mall of Indonesia (MoI), Lippo Mall Kemang, hingga Jakarta Garden City.

Di sejumlah kota lain, situasinya tidak jauh berbeda. Di Bandarlampung, misalnya, terdapat pusat pertokoan bernama Simpur Centre dan Central Plaza, atau tulisan besar “Bandarlampung City” yang terpampang mencolok di gerbang masuk kota dari arah Bandara Radin Inten II. Di Jambi pun tampak besar tulisan “Jambi Business Centre” di salah satu kawasan bisnis kota itu.

Akan jauh lebih elok dan mencerminkan semangat keindonesiaan apabila semua penamaan tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Bentuk dalam bahasa Indonesia pun tetap dapat disertai padanan dalam bahasa daerah, dan jika dibutuhkan, dilengkapi pula dengan terjemahan dalam bahasa asing.

Jika seorang warga asing, katakanlah dari Prancis, berkunjung ke sejumlah kota di Indonesia, bukan mustahil ia akan mengira bahwa masyarakat Indonesia sangat mencintai bahasa Inggris. Ia barangkali bertanya-tanya, apakah benar bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-hari di republik ini? Dugaan semacam itu bukan tidak mungkin muncul dalam benaknya. Bangsa Prancis dikenal sangat mencintai bahasa nasional mereka, yakni bahasa Prancis. Selain Prancis, empat bangsa lain—Italia, Jerman, Tiongkok, dan Jepang—juga memiliki reputasi kuat sebagai bangsa yang rakyatnya sangat menghargai dan mencintai bahasa negara mereka. Kelima bangsa itu bukan penutur bahasa Inggris, tetapi tidak mengalami arus penginggrisan yang mengkhawatirkan sebagaimana terjadi di Indonesia.

Harus diakui, tidak sedikit di antara saudara sebangsa yang kurang, atau bahkan tidak, menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia—bahasa yang telah mempersatukan bangsa ini sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bagi sebagian dari mereka, dari segi gengsi, bahasa Indonesia justru dianggap sebagai pilihan kedua, sedangkan posisi pertama ditempati oleh bahasa Inggris. Mereka barangkali lupa, atau belum mengetahui, bahwa di ranah internasional bahasa Indonesia telah mendapatkan pengakuan penting: ditetapkan sebagai salah satu bahasa resmi dalam Konferensi Umum UNESCO, melalui pengesahan Resolusi 42 C/28 dalam Sidang Umum ke-42 UNESCO pada Senin, 20 November 2023 di Markas Besar UNESCO, Paris. Dalam sidang tersebut, bahasa Indonesia menjadi bagian dari sepuluh bahasa dunia yang digunakan, bersama enam bahasa resmi PBB—Inggris, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Rusia—serta Hindi, Italia, Portugis, dan Indonesia.

Apakah gejala itu berkaitan dengan menurunnya kecintaan sebagian pengguna terhadap bahasa Indonesia? Kecintaan yang berlebihan terhadap bahasa Inggris kerap diasumsikan dapat menggeser, bahkan mengikis, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.

Dalam konteks itulah, kita perlu menakar—setidaknya secara pribadi—sejauh mana bahasa Indonesia bermakna dan berperan dalam kehidupan kita. Seberapa dalam kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara?

Bertolak dari uraian tersebut, langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak berlebihan. Peraturan ini bertujuan menjaga kedaulatan bahasa Indonesia di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui serangkaian upaya pengawasan dan penguatan pemakaiannya. Pengawasan itu dilakukan melalui empat tahap utama: sosialisasi, pemantauan, pendampingan, dan evaluasi.

Jauh sebelumnya, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan—yang antara lain mengatur penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita menjaga kedaulatan bahasa Indonesia; merasa bangga, mahir, dan ingin maju bersama bahasa Indonesia, bukan?

Epilog

Perlu terus ditumbuhkan kesadaran di tengah masyarakat Indonesia bahwa bahasa Indonesia adalah milik bangsa, harta bersama yang paling berharga, karena bahasa ini telah terbukti menjadi alat perekat yang tidak menimbulkan persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di tengah keberagaman masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang. Bahasa persatuan ini sejatinya merupakan karunia dan berkah dari Tuhan bagi bangsa Indonesia, anugerah yang mampu menyatukan kita sebagai saudara dan sebagai bangsa dalam satu semangat kebangsaan. 

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus senantiasa didorong untuk semakin maju bersama bahasa Indonesia: menjadi pengguna yang mahir, pemilik yang bangga, dan pewaris yang mencintai bahasa bangsanya dengan sepenuh hati.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya