SAAT ini, dunia tengah dihadapkan pada persoalan kemiskinan yang meluas, perubahan iklim dan bencana alam, konflik berkepanjangan, serta kesenjangan yang semakin mendalam.
Pembangunan berkelanjutan merupakan jalan komprehensif untuk mengatasi kemiskinan ekstrem, degradasi kualitas lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, dan ketidakadilan sosial ekonomi politik. Pembangunan berkelanjutan bertujuan pada keterpaduan antara pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, inklusi sosial masyarakat yang berwawasan lingkungan, dan lingkungan hidup yang lestari.
Hal ini selaras dengan peringatan Hari Habitat Dunia (5/10) yang tahun ini mengangkat tema Public spaces for all (Ruang publik untuk semua).
Permasalahan kota Hanya 4% tanah di dunia digunakan untuk kota, tetapi kota menghasilkan sekitar 80% GDP dunia. Kota merupakan tempat hunian lebih dari 50% (2013) dan diperkirakan mencapai 70% (2050). Jumlah penduduk kota/perkotaan di Indonesia terus meningkat dari 53% (2015) dan diperkirakan mencapai 75% (2050). Dampaknya kota akan mengonsumsi lebih besar lagi sumber daya alam yang semakin menyusut.
Kota merupakan pusat konsentrasi dari kekuasaan, produktivitas (infrastruktur, penduduk, fasilitas umum, dan komersial), kemakmuran, kebudayaan, serta peradaban. Pusat pertumbuhan berada di kota/kawasan perkotaan. Pemimpin baru banyak muncul dari kota. Masa depan Indonesia ada di kota.
Pada saat bersamaan, jika tidak dikelola dengan baik, sebaliknya kota akan menjadi pusat ‘malapetaka’ (urban ills), seperti kemacetan (pencemaran udara, kebisingan, ISPA, dan stres), banjir (krisis air bersih, rob, abrasi, dan penurunan muka tanah), permasalahan sosial (kampung kumuh, kriminalitas, pengangguran, dan kesenjangan kaya-miskin), serta tata ruang (infrastruktur, transportasi, sampah, dan limbah).
Kota dituntut kompetitif dan layak huni sehingga muncul berbagai konsep kota, seperti kota kreatif (creative city), kota hijau (green city, garden city, dan ecocity), kota layak huni (liveable city), kota cerdas (smart city), dan kota berketahanan/tangguh (resilient city). Kota memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan, khususnya bagi para pemimpin kota (wali kota/bupati). Kota mensyaratkan lingkungan yang cerdas (smart environment: energi, lingkungan hidup, dan RTH), mobilitas cerdas (smart mobility), pemerintahan cerdas (smart governance), pengelolaan ekonomi cerdas (smart economy: pusat perekonomian, pendidikan, industri, dan sumber daya), kualitas hidup cerdas (smart quality of life: keamanan, kesehatan, pelayanan umum, transportasi, dan interaksi media sosial), serta layanan utilitas cerdas (smart utility services).
Wali kota/bupati, lembaga legislatif, dan masyarakat dituntut cerdas dalam memahami permasalahan kota yang semakin kompleks, benturan kepentingan, dan tuntutan warga atas tersedianya jasa perkotaan. Seperti layanan pemerintahan, infrastruktur jalan (termasuk trotoar, jalur sepeda) dan utilitas (listrik, telepon, wi-fi, air bersih, gas, dan limbah), keamanan, perumahan/hunian, lapangan kerja, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta fasilitas umum (taman, ruang publik, dan lapangan olahraga).
Terobosan kota Inovasi sosial berupa indeks kebahagiaan warga (festival, hari bebas kendaraan, pesta kuliner, musik, dan seni), inisiatif warga, makan bersama warga kampung, atau pengadaan bus sekolah gratis.
Inovasi teknologi menghubungkan, mengendalikan, dan memantau pelaksanaan kota (ruang pengendali, transparansi pemerintahan), pemakaian kartu cerdas/elektronik, Wdan aktif di media sosial. Inovasi desain mewujudkan kota hijau cerdas, kota tujuan wisata (festival, desain kreatif), atau kota bebas sampah.
Prestasi kota meraih berbagai penghargaan atas keberhasilan yang telah dilakukan, membuat kota menjadi menarik untuk berinvestasi. Kolaborasi bersama komunitas (inisiatif, gerakan, kampanye, dan festival), akademisi (penelitian dan pengembangan, dukungan tenaga ahli), lembaga (kebijakan, infrastruktur), dan bisnis (sponsor, program bersama, dan corporate social responsibility/CSR ke creating sharing value/csv).
Kebijakan desentralisasi internal (pembangunan berbasis masyarakat) dan eksternal (teknopolis, ecopolis, humanpolis). Pemimpin kota wajib mengubah wajah birokrasi dari manual ke melek teknologi, berbiaya mahal (efisien), sulit diakses (terbuka/transparan), dari atas (partisipasi masyarakat), pelayanan lambat (cepat), dan mental korupsi (pemerintahan bersih).
Peran teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) membantu memecahkan permasalahan dan tantangan kehidupan sehingga warga menjadi lebih nyaman hidup di kota.
Cerdas dalam TIK dan inovasi juga harus didukung dengan munculnya cerdas secara sosial, seperti pelaksanaan dalam e-toll, e-money, pelayanan dengan sistem online (aplikasi Gojek/Grab/Uber, pendaftaran sekolah, pelayanan kesehatan, dan pembayaran pajak).
Dengan TIK, kota akan lebih mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan mengatasi permasalahan dan tantangan kota yang semakin kompleks menuju kota layak huni. Pemerintah kota harus membuka ruang diskusi dalam penataan kota yang berkelanjutan agar terwujud pembangunan kota yang manusiawi.
Warga harus ditempatkan sebagai manusia, bagian dari pembangunan kota itu sendiri karena pembangunan infrastruktur dan sarana bertujuan memanusiakan (habitat) manusia.