Alek Karci Kurniawan, Peneliti Muda Pusat Studi Fakultas Hukum (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
09/9/2015 00:00
(MI/Tiyok)
DANA desa ialah diskursus yang mesti dikawal selalu dalam ruang publik. Penulis jadi teringat pesan Bambang Widjojanto dalam sebuah diskusi di Sentul, Bogor (14/8). Dana desa termasuk isu strategis pemberantasan korupsi di tahun ini.
Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni aspek regulasi dan kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan, dan aspek sumber daya manusia.
Pada aspek regulasi dan kelembagaan, terdapat sejumlah persoalan, antara lain belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa. Selain itu, potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri. Formula pembagian dana desa dalam PP No 22 Tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari alokasi dana desa yang diatur dalam PP No 43 Tahun 2014 pun kurang berkeadilan serta kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Persoalan yang cukup mencolok ialah formula pembagian dana desa yang berubah disebabkan PP No 60 Tahun 2014 menjadi PP No 22 Tahun 2015. Pada Pasal 11 PP No 60 Tahun 2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Sementara itu, pada Pasal 11 PP No 22 Tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90% dan hanya 10% yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No 60 Tahun 2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No 22 Tahun 2015, Desa A mendapatkan Rp312 juta dan Desa B mendapatkan Rp263 juta (kpk.go.id, 12/6).
Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi desa, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia, transparansi rencana penggunaan dan pertanggungÂjaÂwaban APBDesa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.
Mengenai poin terakhir ini, berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.
Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin justru memprioritaskan penggunaan APBDesa untuk renovasi kantor desa yang kondisiÂnya masih relatif baik. Atau, Desa Y yang memprioritaskan pendirian badan usaha milik desa (BUMDes) perdagangan cengkih meski daerahnya minim infrastruktur.
Sementara itu, pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni efektivitas inspektorat daeÂrah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah, dan ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan camat belum jelas.
Pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal itu berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, di saat tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa justru melakukan korupsi dan kecurangan.
UU Desa sejatinya memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang mereka miliki. Oleh karena itu, pemerintah dan setiap elemen di tatanan desa harus mengelola serius momentum UU Desa ini, jangan terlena soal keuangan semata.