Kristanto Yoga Darmawan, Alumnus Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian UI Pasis Sespimmen Polri Dikreg-55
03/9/2015 00:00
()
WACANA tentang penempatan Polri di bawah kementerian selalu mengemuka di setiap perbincangan di ranah publik yang kemudian berakhir dengan polemik yang tiada henti. Setiap kelompok dan kekuatan politik memiliki argumentasi dan rasionalitas masing-masing untuk mengatakan bahwa Polri tetap berada di bawah presiden atau ditempatkan di bawah kementerian tertentu. Bahkan, saking kencangnya perdebatan Polri berada di bawah kementerian, itu dikait-kaitkan dengan kedudukan TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan, sesuai dengan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Terkesan, pemikiran menempatkan Polri di bawah kementerian dikerdilkan hanya karena persoalan hubungan antara TNI dan Polri semata, dan tidak dilihat dari kacamata sistem ketatanegaraan yang lebih luas.
Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU kadang kala berbeda pandangan dalam menempatkan Polri, apakah berada di bawah presiden sebagaimana UU No 2 Tahun 2002 atau menempatkan Polri di bawah kementerian sesuai dengan RUU Kamnas yang pada periode DPR 2009–2014 tidak pernah masuk daftar Prolegnas, tetapi pada periode DPR 2014-2019 telah masuk daftar Prolegnas. Dalam menyikapi ide, gagasan, dan pemikiran menempatkan Polri di bawah kementerian tertentu, perlu hati yang jernih dan akal yang rasional sehingga akan mendapatkan kesepakatan yang visioner, khususnya memperhatikan eksistensi Polri yang sebenarnya sudah relatif berkembang, demokratis, maju, dan humanis ketika berada di bawah presiden, dan akan menjadi langkah mundur, berpotensi ala Orde Baru, dan setback apabila menempatkan Polri di bawah kementerian. Regulasi Polri Dalam perspektif yuridis, penempatan Polri di bawah presiden telah terpatri dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya di Pasal 8 ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden; ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ditambah lagi dengan Pasal 11 ayat (1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Suasana kebatinan yang mendasari penetapan pasal kedudukan Polri berada di bawah presiden saat itu memang tepat. Itu disebabkan Polri selama rezim Orde Baru berada di bawah ABRI yang tentunya sangat membonsai filosofi, hakikat, dan jati diri Polri sebagai polisi sipil demokratis yang berfungsi sebagai aparat kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat dengan semboyan to serve and to protect dan bukan to kill or to be killed.
Sampai dengan saat ini memang telah banyak sekelompok pihak yang mengajukan judicial review terhadap pasal kedudukan Polri di bawah presiden, tetapi mengalami kegagalan. RUU Kamnas juga secara eksplisit menyuarakan supaya Polri berada di bawah kementerian tertentu sehingga sangat mengancam eksistensi Polri di era reformasi. RUU Kamnas memang diperlukan untuk menyinergikan semua unsur kekuatan pertahanan dan keamanan negara, tetapi memasukkan pasal penempatan Polri di bawah presiden bukan solusi, melainkan malah menjadi bentuk arogansi.
Di bawah kementerian Sampai dengan saat ini telah banyak pihak melontarkan agar Polri berada di wabah kementerian. Namun, mereka banyak yang berbeda pendapat tentang kementerian mana yang akan menjadi rumah baru bagi Korps Bhayangkara tersebut. Sebagian pihak mengatakan Polri lebih tepat berada di bawah Kementerian Dalam Negeri karena merupakan PNS yang dipersenjatai sehingga layak masuk struktur Kemendagri. Sebagian pihak lain menyatakan lebih tepat Polri berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM karena Polri ialah aparat penegak hukum sehingga cocok di bawah kendali Kemenkum dan HAM. Ada lagi mewacanakan Polri berada di bawah Kemenko Polhukam, Kemenhan, dan bahkan dibentuk kementerian sendiri untuk mewadahi institusi Polri.
Harus diingat bahwa penempatan Polri di bawah kementerian, apa pun kementerian itu namanya, adalah hal yang naif. Bahkan sangat membahayakan apabila Polri di bawah kementerian, dan menterinya berasal dari partai politik yang bersikap 'politikus' dan tidak berjiwa 'negarawan'. Jangan heran kalau kemudian Polri akan masuk pusaran kepentingan politik praktis yang sangat bertentangan dengan semangat reformasi. Polri akan dibawa ke ranah day to day politic sang menteri yang mementingkan kepentingan partainya, yang pada gilirannya Polri akan rentan digerakkan menjadi onderbouw partai politik tertentu. Apabila itu terjadi, Polri akan mengalami stagnasi yang berujung pada anarki. Di bawah presiden Kedudukan Polri di bawah presiden yang selama ini berjalan sebenarnya telah memberikan ruang bagi Polri untuk melakukan perubahan, pembenahan, dan penataan secara otonom sehingga Polri mampu mengimplementasikan amanat reformasi, khususnya reformasi birokrasi Polri yang berpusat pada reformasi instrumental, struktural, dan kultural, di bawah paradigma baru polisi sipil (civilian police) dan community policing yang humanis, protagonis, dan demokratis.
Sebagai institusi yang sangat vital dalam konteks ketatanegaraan dan penting dalam sejarah perjalanan bangsa, Polri harus tetap berada di bawah presiden sehingga hal itu memungkinkan presiden memiliki kekuatan, kewibawaan, dan kekuasaan dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia, terutama dalam mengomandoi penegakan hukum, pemeliharaan kamtibmas, pelayanan, perlindungan, dan pengayoman masyarakat.
Di era globalisasi yang penuh dengan kompleksitas kejahatan yang membahayakan negara, presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dapat langsung menggerakkan kekuatan Polri sebagai pencegah, pemelihara, dan pemberantas segala bentuk ancaman kamtibmas dan kejahatan. Hal itu tentunya juga sesuai dengan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa presiden ialah panglima tertinggi TNI dan Polri sehingga sudah menjadi keharusan dan keniscayaan bahwa Polri tetap berada di bawah presiden.