Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Chandra Budi Bekerja di Ditjen Pajak

Chandra Budi Bekerja di Ditjen Pajak
21/9/2016 00:15
Chandra Budi Bekerja di Ditjen Pajak
(ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

PEKAN lalu, salah satu orang kaya Indonesia secara sukarela mengumumkan ikut program amnesti pajak. Secara perlahan tapi pasti, beberapa pesohor lainnya juga mengikuti jejak yang sama. Kondisi ini memberi sinyal akan melonjaknya nilai tebusan pada September, seperti yang diprediksi Ditjen Pajak. Karena berkaca dari data publik saat ini, nilai tebusan baru menembus angka Rp6,46 triliun, atau 3,9% dari target Rp165 triliun. Pada saat yang bersamaan, majalah Forbes kembali mengumumkan daftar orang kaya Indonesia edisi terbaru. Sepuluh orang terkaya versi Forbes itu beraset Rp675 triliun, naik 1,47% dalam 2,5 tahun terakhir ini. Nah, apabila skalanya diperlebar, total aset 40 orang kaya Indonesia berjumlah sekitar Rp1.100 triliun, atau hampir mendekati prognosa realisasi pajak tahun ini! Apabila seluruh orang kaya Indonesia, baik yang ada dalam daftar Forbes maupun belum, ikut amnesti pajak, optimisme uang tebusan Rp165 triliun atau dana repatriasi Rp1.000 triliun semakin besar. Lantas, bagaimana caranya agar mereka ikut amnesti pajak? Kunci awalnya ialah memahami faktor pembentuk perilaku seseorang, termasuk orang kaya ini terhadap amnesti pajak.

Perilaku

Diyakini bahwa perilaku seseorang akan memengaruhi keputusan ekonomi yang dibuatnya. Seperti halnya dengan keputusan mengikuti atau tidak mengikuti amnesti pajak juga akan dipengaruhi perilaku seseorang terhadap pajak selama ini. Perilaku merupakan hasil akumulasi dari beberapa faktor, baik psikologis maupun ekonomis. Faktor ekonomis selalu berkaitan dengan untung atau rugi dari setiap keputusan yang akan dibuat. Faktor psikologis lebih kepada norma-norma yang berlaku yang membatasi sikap, baik norma sosial maupun norma agama. Nah, tampaknya dalam kasus amnesti pajak, kedua faktor ini sangat berperan. Secara umum, tidak dapat dimungkiri lagi bahwa amnesti pajak akan memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak. Dosa-dosa perpajakan 2105 ke bawah akan diputihkan total karena amnesti pajak ini ialah amnesti pajak penuh. Selain penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi juga dihilangkan.

Keuntungan lain, keamanan data yang superterjamin. Artinya, tinggal satu faktor, secara ekonomis, yang menyebabkan Wajib Pajak tidak mau mengikuti amnesti pajak ini, yaitu tidak mampu membayar uang tebusannya. Kabar baiknya, salah satu bank swasta nasional terbesar sudah memfasilitasinya dengan memberikan skema cicilan khusus amnesti pajak ini. Namun, ternyata walaupun mampu membayar uang tebusan, Wajib Pajak akan mempertimbangkan biaya-biaya lain dalam mengikuti program amnesti pajak ini. Jenis biaya ini tidak sekadar yang tampak nyata, tetapi juga yang tidak tampak nyata. Seperti kehilangan waktu tertentu yang dialihkan untuk memahami amnesti pajak ini. Maka, tidak mengherankan keluhan pelaksanaan amnesti pajak lebih berkutat pada permasalahan pemahaman tata cara dan prosedur - yang membutuhkan waktu lama.

Perbedaan pemahaman ini dapat memicu pemberitaan negatif soal amnesti pajak, contohnya amnesti pajak dianggap teror. Untungnya, Ditjen Pajak memberikan respons cepat dengan menerbitkan penegasan aturan pelaksanaan UU Amnesti Pajak sehingga pemahaman amnesti pajak menjadi utuh kembali. Untuk mengantisipasi hambatan pelaksanaan amnesti pajak lain, ada baiknya Ditjen Pajak siaga untuk memberikan penegasan-penegasan yang kiranya belum diatur di UU tetapi menjadi kendala di lapangan. Faktor psikologis sangat terkait dengan norma yang berlaku di suatu negara. Ketika salah satu orang kaya Indonesia dengan sukarela memublikasikan bahwa dirinya telah mengikuti amnesti pajak, secara tidak langsung ada pesan psikologis yang ingin disampaikan. Wajib Pajak ini ingin mengajak masyarakat lain bahwa mengakui lupa membayar pajak selama ini bukanlah melanggar norma yang ada. Pesan ini cukup efektif karena dampaknya, mulai ada beberapa orang kaya Indonesia lagi yang melakukan hal yang sama. Justru, yang banyak ialah mengikuti amnesti pajak tetapi tidak ingin dipublikasikan. Norma yang berlaku di Indonesia ialah adanya rasa malu apabila melakukan kesalahan, pun ketika kesalahan hanya lupa atau khilaf. Dalam perpajakan, apabila ketahuan, kompensasi kesalahan adalah sanksi, baik dalam bentuk sanksi administrasi maupun pidana perpajakan. Namun, karena amnesti pajak bersifat sukarela, mengakui 'kesalahan pajak' harus dibuat nyaman. UU Pengampunan Pajak telah mengakomodasi norma ini dengan mengondisikan segala hal terkait dengan amnesti pajak bersifat rahasia. Di pelayanan penerimaan amnesti pajak pun telah dibuat ruangan khusus dengan pelarangan penggunaan alat perekam dalam bentuk apa pun.

Segmentasi
Periode uang tebusan dengan tarif 2% sudah mau berakhir. Namun sayangnya, uang tebusan dan repatriasi yang terkumpul masih belum memuaskan. Padahal, periode ini diyakini ialah puncak amnesti pajak. Saatnya, Ditjen Pajak mengubah cara pendekatan kepada calon peserta amnesti pajak. Saatnya untuk mengganti pola komunikasi massal, dengan sosialisasi dengan menghadirkan ribuan peserta, dengan komunikasi dan sosialisasi tersegmentasi. Yang disasar dan ditargetkan dapat uang ialah mereka yang kaya!

Untuk itu, perlu segera dilakukan beberapa strategi terkait dengan pola komunikasi kepada Wajib Pajak. Pertama, pada jajaran nasional, daftar 100 orang terkaya RI versi majalah Forbes harus didatangi. Mereka ini perlu disentuh jiwa nasionalisme, rasa memiliki, dan rasa gotong royongnya agar mau mengikuti amnesti pajak. Sebagai penekanan, tidak perlu untuk membahas materi amnesti pajak secara berlebihan apabila bertemu mereka, cukup dengan mengedepankan keuntungan mengikuti amnesti dan kerugian apabila tidak mengikutinya. Kedua, pada level lapangan, melakukan pemetaan Wajib Pajak penyumbang terbesar tiap-tipa Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dalam suatu wilayah kerja KPP, terdapat orang kaya dan badan usaha kaya lokal yang selama ini memang penjadi kontributor terbesar penerimaan pajak di KPP itu. Daftar pendek mereka ini minimal 100 WP, harus didatangi (jemput bola) dan disosialisasi secara pribadi. Dengan jumlah sekitar 340 KPP, setidaknya akan terjaring 3000 lebih WP besar yang secara nyata memiliki kemampuan finansial. Terakhir, setiap KPP harus menyasar profesi atau komunitas tertentu. Ini dimaksudkan untuk menjaring Wajib Pajak yang berada di luar sistem basis data perpajakan yang sudah ada. Dapat saja Wajib Pajak yang selama ini tidak terjangkau pengawasan Ditjen Pajak sehingga tidak terdeteksi mau mengikuti amnesti pajak.

Komunitas pedagang tertentu aialah salah satu contoh yang dapat menyumbang tambahan uang tebusan amnesti pajak dengan cepat. Karena hitungan sederhana, kelompok pedagang ini memiliki omzet penjualan miliaran rupiah per bulan tetapi selalu luput dari pajak, dengan berbagai macam modus. Bukti empiris, sudah ada Wajib Pajak pedagang yang sejak puluhan tahun tidak membayar pajak walaupun telah memiliki NPWP ingin mengikuti amnesti pajak. Artinya, terbukti salah satu sinyal positif amnesti pajak ialah perluasan basis pembayaran pajak dari yang sebelumnya ada.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya