Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
DAMPAK dari gagasan mengembalikan haluan negara seperti model GBHN antara lain ialah memberi kewenangan kepada MPR untuk mempunyai kewenangan mengatur secara regeling (normatif-substantif). Menurut serapan yang dilakukan Badan Pengkajian MPR, jika GBHN dihadirkan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bentuk hukumnya ialah ketetapan atau peraturan MPR. Alasannya, agar daya ikat lebih kuat dan daya jangkau waktunya lebih jauh ke depan. Karena MPR satu-satunya lembaga negara, yang merupakan gabungan antara DPR RI dan DPD RI, yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga kredibilitasnya sangat kuat. Kemudian muncul kekhawatiran, kalau kewenangan MPR ditambah melalui amendemen UUD, jangan-jangan mengembalikan posisinya menjadi lembaga tertinggi negara lagi. Dan bahkan tergoda untuk untuk menambah kewenangan memilih presiden dan wakil presiden seperti yang diatur dalam UUD 1945 sebelum amendemen.
Sementara amendemen selama ini antara lain dimaksudkan untuk memperkuat posisi presiden (presidensial) yang dipilih secara demokrasi langsung dan dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Walaupun kenyataannya memang ada yang menginginkan agar kembali ke UUD 1945 yang asli secara keseluruhan. Memang posisi MPR pasca-amendemen menjadi bahan perdebatan dan pertanyaan di masyarakat, di forum akademis, antara lain karena tafsir yang diberikan para pakar Hukum Tata Negara sendiri tampaknya memang tidak tuntas. Misalnya, menyamaratakan semua lembaga yang disebut dalam UUD Negara RI 1945 (demikian UUD pasca-amendemen disebut), kedudukannya sama. Tidak ada lagi istilah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dasarnya karena setelah amendemen, diatur dalam Pasal 1 ayat 2, 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD'. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (2009), mencatat ada 34 lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945, misalnya termasuk menteri, Bank Indonesia, pemerintah daerah, dan sebagainya.
Ke-34 lembaga negara itu digolongkan sebagai lembaga tinggi untuk lapis pertama, sedangkan lapis kedua disebut lembaga negara saja, dan lapis ketiga disebut lembaga daerah. Yang agak mengganggu ketika disebut bahwa untuk lembaga lapis pertama yang disebut sebagai lembaga tinggi negara, pakar lain menganggap cukup disebut lembaga negara, adalah (1) presiden dan wakil presiden, (2) DPR, (3) DPD, (4) MPR, (5) MK, (6) MA, dan (7) BPK. Sementara alasan pengelompokannya ialah sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Pertanyaan mulai muncul mengapa Jimly tidak mengindahkan teori kedaulatan rakyat, yang antara lain diwujudkan secara terang benderang melalui sistem pemilihan umum. Hanya tiga lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, yakni presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Mengapa lembaga yang jelas-jelas mendapat mandat langsung dari rakyat, disejajarkan dengan lembaga yang dibentuk sebagai turunan dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat tersebut. Bukankah MK, MA, dan BPK merupakan lembaga yang dibentuk presiden, DPR, dan ada yang dengan pertimbangan DPD.
Posisi MPR
Di mana posisi MPR? Dalam Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 diatur 'MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan UU'. MPR merupakan gabungan dari dua lembaga tinggi negara (istilah Jimly) yang secara logika posisinya pasti harus di atas kedua lembaga yang bergabung tersebut. Adapun, jika dilihat dari segi kewenangan, Pasal 3 ayat 1 UUD NRI 1945 mengatur, 'MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD'.
UUD merupakan dokumen hukum tertinggi yang mengatur sebuah negara. Untuk menetapkan dan mengubahnya diserahkan kepada MPR, sehingga kemudian ada yang menyebut MPR merupakan lembaga negara dengan kewenangan tertinggi. Kelihatannya ada semangat untuk melawan teori bahwa MPR merupakan lembaga tertinggi negara di RI ini, hanya untuk mendapatkan kepuasan psikologis-politis bahwa telah terbebas dari praktik politik keberadaan MPR sebelum UUD 1945 diamendemen yang memegang hegemoni dan dan jauh dari semangat demokrasi. Walaupun kenyataannya dengan tafsir MPR sama dan sejajar dengan lembaga negara yang lain, apalagi disetarakan dengan MK, MA, dan BPK menimbulkan kontroversi tersendiri baik sacara teori maupun praktik. Inilah yang kemudian membuat Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya pada peringatan Hari Konstitusi 2015 menyebutkan MPR tidak boleh dianggap sebagai lembaga negara biasa seperti yang lain.
Sistem yang dibangun para pendiri negara tersebut dimaksudkan sebagai alternatif dari sistem parlementer di Eropa dan sistem presidensial di Amerika. Setiap kali ada gagasan untuk menata kembali posisi MPR yang merupakan lembaga paling fenomenal bukan saja di Indonesia, tetapi juga dalam sistem ketatanegaraan dunia, isu yang muncul selalu apakah itu berarti MPR akan menjadi lembaga tertinggi negara lagi? Widayati dalam disertasinya berjudul Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2015) bahkan mengusulkan agar Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 sekarang ini disempurnakan dengan perumusan 'MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum, dan utusan golongan yang diatur lebih lanjut dengan UU'. Kemudian Pasal 3 ditambah dengan ayat yang berbunyi 'MPR berwenang menetapkan peraturan negara'. Peraturan negara ini sederajat dengan pengertian Ketetapan MPR yang berlaku saat ini. Gagasan untuk menepatkan posisi MPR ini membutuhkan perhatian yang serius sekaligus saksama. Ini akan menjadi pertanyaan yang akan terus mengganggu dalam sistem ketatanegaraan di masa datang. Misalnya, pertanyaan apakah kita menganut sistem monokameral, dwikameral, atau bahkan trikameral, masing-masing dengan konsekuensi hubungan fungsional antara ketiga kamar legislatif yang ada, baik DPR, DPD, maupun MPR.
Menuju posisi yang tepat
Walaupun penuh tantangan, kontroversi, dan butuh waktu yang panjang, penepatan posisi MPR ini sangat strategis dan fundamental. MPR yang diidealkan sebagai bentuk lembaga legislatif tertinggi yang kompatibel dengan sila keempat Pancasila, bisa diposisikan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis seperti menyempurnakan UUD, merumuskan GBHN, dan menetapkan aturan dasar yang belum tertampung dalam UUD, namun dibutuhkan sebagai panduan kebijakan pemerintah yang akan diturunkan dalam bentuk UU. Adapun, pembentukan legislasi yang lebih dinamis diserahkan kepada DPR, DPD, dan presiden. Selain secara bertahap penataan MPR bisa dilakukan dengan amendemen UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, juga bisa diperkuat dengan membentuk UU tersendiri tentang MPR. Hal yang sama juga bisa dilakukan dengan membentuk UU tersendiri tentang DPR dan DPD. Memang terasa janggal, jika lembaga-lembaga turunan dari teori kedaulatan rakyat justru dibentuk dengan UU tersendiri seperti MA, MK, BPK dan sebagainya, justru lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD, bahkan digabung dengan DPRD, diatur dalam satu UU. Denny Indrayana dalam bukunya, Negara antara Ada dan Tiada (2008), menegaskan kejelasan sistem parlemen Indonesia harus lebih tegas. Selain posisi MPR, yang harus dipertegas ialah posisi DPD. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD dalam hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut memiliki hak suara untuk menentukan lolos tidaknya UU. Parlemen Indonesia ke depan disarankan untuk menjadi sistem bikameral yang kuat, walaupun tidak perlu menjadi sistem yang sama kuat antara DPR dan DPD, karena bisa menyebabkan kebuntuan dalam pembuatan kebijakan. Untuk sementara tampaknya yang mulai bisa dicoba merumuskan kesepakatan ialah untuk memberi kewenangan kepada MPR dalam membuat peraturan yang bersifat mengatur, termasuk menetapkan GBHN. Juga apabila diperlukan membuat peraturan yang strategis mengenai bidang tertentu misalnya bidang pengelolaan SDA, pengaturan kebijakan pengaturan otonomi daerah termasuk pemilihan kepala daerah, yang belum bisa tertampung dalam UUD, namun panduan besarnya dibutuhkan untuk dituangkan dalam UU lebih lanjut. Selain itu penataan DPD dan hubungan fungsionalnya dengan DPR juga perlu diperjelas, termasuk kemungkinan menata masuknya utusan golongan untuk menyempurnakan posisi MPR sebagai lembaga permusyawaratan. Sementara itu, lembaga perwakilan politiknya melalui DPR dan perwakilan daerahnya melalui DPD. Kalau ini bisa dilakukan, posisi MPR apakah sebagai lembaga permanen dalam sistem parlemen kita, atau bersifat joint session, tidak akan terlalu berpengaruh, karena yang penting posisi maupun fungsinya mempunyai bentuk yang lebih pasti.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved