Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
TANGGAL 10 Zulhijah 1437 bertepatan dengan 12 September 2016, kita kembali bertemu Idul Adha. Hari raya itu disebut juga Idul Kurban. Hari raya saat kita melakukan pengorbanan harta yang kita miliki untuk membangun solidaritas kemanusiaan demi meraih nilai luhur ketakwaan.
Hikayat kurban merupakan epos yang berporos pada ajaran Bapak Monoteisme, Nabi Ibrahim As. Tuhan menagih Ibrahim melalui mimpi-mimpi malamnya untuk memenuhi janjinya, mengorbankan anak semata wayangnya, Ismail, yang kelahirannya sudah lama dinantikan. Hikayat juga yang mencatat bahwa Ibrahim itu lebih mementingkan Tuhan ketimbang hawa nafsunya menyelamatkan darah dagingnya sendiri. Justru di puncak keikhlasan itu kemudian Tuhan mengganti Ismail dengan domba besar.
Harta terbaik yang dikorbankan Ibrahim itu ialah Ismail, tentu saja ‘Ismail’-nya kita itu dapat beragam. Dalam sebuah penafsiran menarik Ali Syariati, “Janganlah engkau sendiri yang menentukan tebusan bagi ‘Ismailmu’ itu. Biarlah Allah yang menentukan dan menghadiahkannya kepadamu. Begitulah cara Dia menerima domba sebagai pengorbanan darimu. Mempersembahkan domba sebagai pengganti Ismail adalah ‘pengorbanan’, tetapi mengorbankan domba demi pengorbanan adalah ‘penjagalan’.”
Kita kutip interpretasi sosiologis lebih lanjut dari Ali Syariati tentang ‘Ismail’ kita itu. “’Ismail’-mu itu adalah setiap sesuatu yang melemahkan imanmu, setiap sesuatu yang menghalangi perjalanan spiritualmu. Setiap sesuatu yang membuat engkau menghindari tanggung jawab, setiap sesuatu yang membuat engkau hanya memikirkan kepentinganmu sendiri dan abai terhadap persoalan sosial sekitarmu. Setiap sesuatu yang membuat engkau mengemukakan alasan-alasan demi kemudahanmu.”
Kesadaran ilahiah
Ternyata yang memiliki kesadaran ilahiah total itu bukan hanya Ibrahim, melainkan juga anaknya, Ismail, yang menerima penuh kesabaran malah memompakan semangat kepada ayahandanya agar tak perlu ragu terhadap niatnya itu. “Ayah, kalau Ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak menciprat Ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila Ayah sudah merebahkanku untuk disembelih, telungkupkan aku, dan jangan dimiringkan. Aku khawatir bila ayah kelak melihat wajahku, Ayah akan mengurungkan niat. Kalau Ayah bermaksud akan membawa bajuku ini kepada ibu, lakukanlah Ayah. Semoga ini menjadi hiburan bagi ibu.”
Ismail mengajarkan tentang kesabaran. Kesabaran model itu tidak ada sangkut pautnya dengan sikap pasif, ‘menunggu untuk’, tapi justru kesabaran ala Ismail adalah kesabaran sebagai buah yang diolah dari harapan (hope/raja’) dan keyakinan (faith/iman).
Keyakinan--meminjam tafsir Erich Fromm--bukan bentuk lemah dari kepercayaan, melainkan kepastian terhadap yang belum terjamin, pengetahuaan tentang kemungkinan riil, kesadaran akan masa depan yang didasarkan atas kemampaun untuk mengetahui dan memahami, menembus permukaan, dan melihat palungnya. Keyakinan Ismail bukan ramalan, melainkan visi dalam keadaan serbaterang.
Istrinya sendiri yang bernama Siti Hajar alih-alih memprovokasi suaminya untuk membatalkan niatnya justru menyuntikkan spirit agar tak perlu bimbang terhadap titah Allah yang datang lewat mimpi itu. Ketika itu, datang setan dalam rupa seorang laki-laki seraya berkata, “Tahukah engkau hendak ke manakah Ibrahim menuntun anakmu?” “Ia pergi berdua mencari kayu bakar ke bukit sebelah,” jawab Siti Hajar. Kata setan, “Tidak, suamimu itu hendak menyembelih anaknya!” Ibu itu menjawab lagi, “Tidak mungkin, suamiku amat menyayangi anaknya.” Kata setan, “Tidak, suamimu mengaku bahwa Tuhan yang memerintahkannya.” Jawab Hajar, “O, kalau peritah Tuhan begitu, biarkan ia mentaati perintah-Nya.”
Hidup dalam Tuhan
Ibrahim mengalami apa yang dikatakan Soren Keerkagard sebagai ‘lompatan iman’, yakni Tuhan lebih diutamakan ketimbang yang lainnya. Hidup dalam Tuhan yang melibatkan keberanian. Dalam penjelasan Martin Heidegger, ‘hidup dalam Tuhan’ harus dibuktikan dalam sikap berani dan menampakkan diri ‘ada dalam dunia’ yang dipantulkan melalui ‘keterlibatan’, ‘keterikatan’, ‘komitmen’, dan ‘keakraban’.
Dengan keberanian total dan kepasrahan bulat (hanif), Ibrahim menerima subjektivitas transendental: subjektivitas yang hanya mau mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat pada nilai-nilai di luar itu, apalagi tersandera hasrat pribadi yang bersifat kebendaan dan nafsu hedonis.
Tuhan ditempatkan sebagai segala-galanya walaupun secara lahiriah harus dilakukan lewat cara ‘menyingkirkan’ hal-hal yang sangat dicintainya, Ismail. Janji kepada Tuhan disikapi sebagai panggilan kudus yang wajib ditepati walaupun perjanjian itu, untuk sementara, merugikan diri dan orang-orang yang dikasihinya.
Di bulan Zulhijah, kita belajar kembali kepada Ibrahim As tentang makna pengorbanan, kesabaran, dan keikhlasan, sebab ternyata agama (dan bangsa) hanya akan bermakna, ketika kita para pemeluk dan segenap rakyatnya mengajukan pertanyaan, “Apa yang telah kau korbankan kepada agama (dan negara)?” Bukan sebaliknya. Para leluhur kita pada masa pergerakan dengan bagus memberikan teladan bagaimana mereka mengorbankan harta bahkan nyawa mereka demi merebut kemerdekaan, untuk menghirup udara kebebasan.
Kepada Ibrahim juga kita berguru tentang keteguhan memegang janji. Janji yang tidak boleh dicederai atas alasan apa pun juga, sekali berjanji pantang untuk dikhianati apalagi perjanjian itu diikrarkan kepada Tuhan. Orang mencapai maqam kepribadian agung tatkala mampu membuktikan janji-janjinya, sebaliknya seseorang juga meluncur martabatnya ketika janji-janji yang telah ditebarkannya dicampakkan.
Menyembelih binatang makna tersembunyinya juga mengharuskan kita senantiasa ‘menyembelih’ nafsu tamak dan watak korup yang mengalir dalam darah kita. Kurban itu sudah saatnya cakupan pemaknaannya diperluas menjadi tidak sekadar berhenti sebatas terputusnya urat leher binatang, tapi juga terputusnya sifat-sifat buruk kebinatangan yang melekat dalam tubuh kita, baik tubuh personal ataupun tubuh sosial kebangsaan.
Jika tidak seperti itu, Idul Kurban itu hanya menyisakan ceceran darah dan binatang yang bergelimpangan dan setelah itu kita kembali menjadi binatang, rakus dan serakah.
Asep Salahidun Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved