Headline
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
"WAHAI ayah, jika benar ini perintah Allah janganlah engkau ragu. Biarkan aku dalam posisi tengkurap saat disembelih, agar tidak kulihat kilatan pedang yang mungkin akan menghalangi keikhlasanku dan juga agar ayah tidak melihat binar mataku yang mungkin bisa membuat ayah ragu," ujar Ismail kepada ayahandanya, Ibrahim. Inilah kata-kata yang merupakan ekspresi sikap tauhid luar biasa dari Ismail dan merupakan hasil pendidikan karakter teragung yang pernah ada di muka bumi ini. Berbagai suku bangsa di Indonesia sangat menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagaimana yang dilakukan Ibrahim kepada Ismail, yang umumnya diwujudkan dalam pencapaian sikap bersatu dengan Sang Mahapencipta, sikap bersatu dengan alam dan bersatu dengan masyarakat. Pada suku Jawa, keberhasilan orangtua melakukan pembentukan karakter diindikasikan dengan menyebut sang anak sudah dadi wong (Niels Mulder, 1983). Atribusi dari keberhasilan tersebut bukanlah karena sang anak sudah jadi pejabat atau punya banyak harta. Konsep dadi wong dimaknai dengan penerimaan masyarakat terhadap anaknya (social acceptance) berupa memahami adat dan berperilaku tidak menyimpang dari pola pergaulan masyarakat, mandiri, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Sri Sultan Hamengkubuwono I ketika remaja (dikenal sebagai Mangkubumi) melengkapi pendidikan karakternya dengan melakukan lelono (berkelana) ke desa-desa, ke gunung, pantai untuk lebih dekat dengan alam dan masyarakat (sebagaimana dituturkan WS Rendra di Majalah Basis). Dia menempa diri dengan menjalankan pola hidup asketisme ketika menjalankan lelono. Di tempat-tempat tertentu menjalankan tapa brata, melakukan topo kungkum, menjalani latihan-latihan yang menempa mental, memperkuat fisik, serta meningkatkan kualitas spiritual dalam upaya bersatu dengan Sang Mahapencipta dan alam semesta. Contoh latihan tersebut ialah ketika malam hari Mangkubumi melempar dua cincin akik kesayangannya ke dalam sungai. Lalu dia terjun ke dalam sungai tersebut dan mencarinya sampai memperoleh kedua cincinnya kembali. Kadangkala sampai fajar menyingsing barulah kedua cincin itu ditemukan.Pada masyarakat Minangkabau anak-anak laki-laki sedari kecil tidur di surau. Dia harus mandiri. Dia mengurus sendiri tikar tidurnya, pakaiannya, buku-bukunya, dan makanannya sehari-hari. Begitu bangun pagi si anak sudah harus masak air dan berangkat sekolah. Sore hari dia belajar agama dan waktu maghribnya diisi dengan melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Sehabis menjalankan salat isya, bersama teman-temannya dia berlatih silat di bawah bimbingan guru silat. Kadangkala datang mamaknya (paman) dan mengajaknya ke kedai nasi untuk berlatih mangecek (berbicara). Nasihat utama yang diberikan guru maupun tetua pada anak tersebut ialah agar selalu berguru pada 'alam nan takambang'. Anak dengan usia tanggung seperti ini dikatakan di kampung baguno balun (Mochtar Naim, 2013).
Untuk beranjak ke masa kedewasaannya dia haruslah merantau sebagai rites of passage ala Van Gennep (1960). Sebelum berangkat merantau dia akan diuji dulu kemampuannya dalam tiga hal. Dia harus lolos dari ujian ketangkasan beladiri silat. Kemampuan agamanya yang mendasari perilaku dan moralnya ditunjukkan dengan sudah mengkhatamkan Alquran. Keterampilannya berbicara ditunjukkan dengan kelihaiannya mangecek di kedai nasi. Pada masyarakat adat Baduy, seorang anak pria maupun anak wanita sampai umur 10 tahun dididik sepenuhnya oleh ayah bundanya. Mereka dilatih memasak, bersih-bersih rumah, diajak pergi ke ladang untuk mengenal pekerjaan berkebun. Seringkali mereka diajak menginap di gubuk kecil di dekat ladang. Tidak mengherankan bila anak-anak Baduy pria maupun wanita yang sudah berumur sekitar 10 tahun sudah mampu memasak dan menyiapkan makanan ketika datang tamu. Fisiknya pun sudah terlatih dan kuat untuk berjalan jarak jauh serta kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan kebun. Setelah menginjak usia 10 tahun mereka secara rutin pergi ke rumah Jaro, tokoh adat, untuk belajar religi, adat Baduy, belajar bagaimana menyelenggarakan kebun dan mengolahnya dengan baik. Bagaimana cara pandang orang Baduy terhadap masyarakat Baduy dan terhadap orang non-Baduy, tanaman, binatang, dan semesta ini. Seorang remaja Baduy niscaya sudah mampu hidup mandiri dengan cara hidup sesuai adat Baduy serta mampu menjalin hubungan bermasyarakat dengan orang lain.
Pendidikan karakter pada suku-suku bangsa di Indonesia sangat menekankan pentingnya membentuk seseorang yang dekat dengan Sang Mahapencipta, dekat dengan alam dan mampu menghadapi realitas hidup, bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan sosok pribadi yang memegang teguh nilai-nilai luhur budayanya, mandiri, mempunyai pengetahuan cukup untuk menjalani hidup sebagai seorang yang sudah dewasa serta berkontribusi untuk kemaslahatan masyarakat. Pemilikan harta kekayaan dan jabatan bukanlah menjadi indikator keberhasilan pendidikan karakter. Bila sang anak diterima masyarakat (social acceptance) dan hidup rukun dalam masyarakat (lihat juga Patrick Guiness 1986) menjadi ukuran keberhasilan pendidikan karakter serta kebanggaan bagi orangtua. Bila sebaliknya, walaupun sang anak yang beranjak dewasa tersebut menjadi orang kaya dan atau menjadi pejabat, orangtua akan merasa gagal dalam mendidik karakter sang anak. Rasa malu dan muka tercoreng aib menjadi kegundahan bagi orangtuanya bahkan keluarga luasnya (extended family).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved