TAHUN Baru Imlek yang jatuh pada hari Kamis, 19 Februari 2015, merupakan Tahun Baru Imlek ke-2566, khususnya bagi semua orang Tionghoa. Bagi mereka, ini hari perayaan terpenting. Perayaan tahun baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama Tionghoa, Pinyin, Zheng Yue, dalam penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chux yang berarti Malam Pergantian Tahun.
Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa dalam konteks Indonesia, lebih dari sekadar peringatan tahun baru, tetapi juga merupakan selebrasi tahunan warisan dari budaya atau kultur leluhur mereka. Imlek menegaskan bahwa di mana pun orang yang berdarah Tionghoa, baik itu yang totok maupun yang peranakan, mereka tetap mempertahankan dan melestarikan budaya mereka. Mereka merayakan Imlek yang berarti juga merayakan kebebasan mereka mempertahankan dan melestarikan budaya mereka. Sesuatu yang sebelum era reformasi sulit dilakukan karena stigma negatif sebagai 'orang asing' yang disematkan kepada mereka oleh masyarakat pribumi dan kebijakan rezim yang memaknai nasionalisme secara rigid (kaku).
Dalam sejarah Indonesia, orang Tionghoa dianggap 'orang asing' dan sulit diterima orang pribumi. Menurut Charles Coppel, susahnya etnik Tionghoa diterima kaum nasionalis Indonesia dimulai sejak zaman kolonial. Masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa dan pemikiran kaum nasionalis Indonesia telah banyak dipengaruhi cara berpikir kolonialis Belanda sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Selain itu, nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal daripada nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Tionghoa inilah yang menjauhkan etnik Tionghoa, termasuk peranakan dari nasionalisme Indonesia yang dipimpin pribumi.
Beberapa orang Tionghoa pernah mencoba untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan para nasionalis Indonesia, misalnya Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia. Namun, gerakan ini kurang berhasil (Suryadinata, 1981). Sebenarnya, sejumlah tokoh prakemerdekaan pada 1930-an, seperti Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Amir Sjarifuddin mendefinisikan bangsa secara politik dan secara eksplisit memasukkan etnik Tionghoa, seperti Liem Koen Hian ke dalam konsep Indonesier (istilah Belanda untuk orang Indonesia).
Pada Maret 1963, Soekarno memperjelas konsep yang pernah ia lontarkan pada 1945 tentang status orang Tionghoa dalam wadah negara Indonesia, ketika ia menyampaikan pidato di Kongres Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ia menyatakan bahwa peranakan Tionghoa ialah suku Indonesia. Suku artinya kaki. Bangsa Indonesia memiliki banyak kaki, sama seperti lipan yang memiliki kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, dan kaki peranakan Tionghoa. Kaki peranakan ialah salah satu dari kaki-kaki kebangsaan (Siauw, 1963).
Di era Orde Baru (Orba), HM Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi untuk menggabungkan etnik Tionghoa yang berasal dari kelompok nonpribumi ke dalam tubuh penduduk asli. Sehubungan dengan asimilasi, Donald Horowitz membedakan dua jenis asimilasi, yaitu inkorporasi dan amalgamasi. Yang pertama berarti bahwa satu kelompok tertentu mengambil identitas kelompok yang lainnya, sedangkan yang kedua berarti dua kelompok atau lebih yang digabung untuk membentuk sebuah kelompok yang baru yang lebih besar (Glazer dan Moynihan, 1975). Model yang diacu Indonesia ialah model inkorporasi.
Sebenarnya, komunitas Tionghoa di masa lampau lebih menekankan pada konsep kewarganegaraan ketimbang pada kebangsaan. Kewarganegaraan ialah konsep yang lebih bersifat hukum atau politik. Tradisi liberal dari kewarganegaraan berkaitan dengan negara dan diberikan oleh negara ketimbang oleh masyarakat (Yuval-Davis, 1997). Konsep asli kewarganegaraan berarti hak yang sama dan tugas atau kewajiban yang sama untuk semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950). Dalam konsep Will Kymlicka (1995), bangsa ialah komunitas sejarah yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi (share) bahasa dan budaya yang spesifik. Bangsa dalam pengertian sosiologis ini berkaitan erat dengan konsep rakyat atau budaya--dan sesungguhnya konsep tersebut sering kali didefinisikan dengan istilah-istilah itu.
Di sinilah kemudian multikulturalisme dianggap sebagai paham yang bisa menyelesaikan 'masalah Tionghoa' dalam bingkai negara Indonesia. Multikulturalisme adalah pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multibudaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya. Pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang sering kali tidak seimbang (Jary dan Jary, 1999). Dengan kata lain, ini merupakan doktrin yang menekankan pada kelebihan prinsip keanekaragaman budaya dan pemeliharaan kekayaan budaya.
Sebagian orang memandang multikulturalisme justru makin meruncingkan perbedaan dan berpotensi memecah belah karena dengan demikian setiap orang merefleksikan budaya atau kultur mereka secara terbuka, tajam, dan mencolok, seperti halnya Imlek. Namun, bagi Will Kymlicka, multikulturalisme atau upaya memajukan keanekaragaman budaya akan menguntungkan negara yang bersangkutan dan prinsip kewarganegaraan yang setara akan mempersatukan penduduk jika dibandingkan dengan pembedaan warga negara yang membedakan hak-hak kelompok di antara warga negara.
Saat ini tampaknya bukan lagi masanya memperbincangkan nasionalisme sempit. Orang Tionghoa ialah warga negara Indonesia yang secara politik dan hukum dilindungi oleh negara dengan tetap mempraktikkan budaya mereka. Mantra Binneka Tunggal Ika yang dahulu hanya berlaku bagi suku bangsa pribumi sudah mencair dengan masuknya Tionghoa ke dalam kebinnekaan itu.
Hari Raya Imlek yang secara resmi menjadi hari libur nasional menjadi bukti nyata negara untuk makin memperkaya budaya Indonesia. Hak berbudaya sudah dijamin negara, tinggal kemudian kewajiban semua kultur yang ada untuk bergotong-royong dan bekerja sama memajukan Indonesia.
Fajar Kurnianto Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina,Jakarta