Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
BARU-baru ini, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menghadiri pengukuhan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Kalimantan Timur di Samarinda. Dalam pengukuhan tersebut, Wakil Presiden menegaskan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia akan terus berlanjut meskipun era pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berakhir.
Selama 6 tahun terakhir, komitmen pengembangan ekonomi syariah di Indonesia telah mengalami perubahan dari aspirasi masyarakat ke pemerintah (bottom-up) menjadi kebijakan pemerintah kepada masyarakat (top-to-bottom) sekaligus menunjukkan dukungan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam mengembangkan ekonomi syariah. Nakhoda utama ekonomi syariah di tingkat pusat ialah Wakil Presiden selaku Ketua Harian KNEKS serta Ketua KDEKS tingkat provinsi yang dipimpin gubernur atau wakil gubernur.
Secara historis, kebijakan top-to-bottom itu sejatinya dimulai saat penyusunan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) pada 2018 oleh Bappenas. Rekomendasi utama dari MAKSI ialah pembentukan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang diketuai Presiden.
Selanjutnya, Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019–2024 disusun KNKS dan diluncurkan Presiden pada 2019 dengan visi Indonesia yang Mandiri, Makmur, dan Madani dengan Menjadi Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka Dunia. Selain itu, Presiden turut mendorong transformasi KNKS menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020.
Capaian Indonesia
Melalui kebijakan top-to-bottom serta keterlibatan berbagai stakeholder, beberapa capaian telah diraih Indonesia. Pertama, peringkat Indonesia di sektor ekonomi syariah meningkat. The Global Islamic Economy Indicator (GIEI) menempatkan Indonesia pada peringkat 4 pada 2022 dari posisi 10 pada 2018. Bahkan, Indonesia berhasil meraih posisi pertama pada Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023.
Kedua, total aset keuangan syariah meningkat dari Rp1.289 triliun pada Desember 2018 menjadi Rp2.451 triliun pada April 2023 (OJK, 2023), rata-rata tumbuh sebesar 11,3% selama 6 tahun terakhir. Marketshare keuangan syariah terhadap keuangan nasional turut meningkat dari 8,5% menjadi 11% selama kurun waktu tersebut.
Ketiga, marketshare industri perbankan syariah naik menjadi 7% terhadap perbankan nasional. Peningkatan marketshare itu merupakan dampak dari beberapa aksi korporasi dan kebijakan anorganik di industri perbankan syariah, dari merger 3 bank syariah Himbara menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), konversi Bank NTB Syariah, dan Bank Riau Kepri Syariah, hingga penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Aceh. Bahkan, saat ini BSI tercatat berada di peringkat ke-13 bank syariah global berdasarkan market capitalization.
Keempat, terbentuknya 3 kawasan industri halal (KIH) di provinsi Banten, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau menjadi salah satu fondasi penting untuk menjadikan Indonesia sebagai global halal hub.
Kelima, total ekspor produk halal pada 2022 tercatat mencapai US$15,87 miliar (Kementerian Perdagangan). Melihat beberapa capaian tersebut, Indonesia sejatinya tengah bertransformasi menjadi salah satu pemain utama ekonomi syariah di tingkat global.
Pembaruan dan akselerasi pengembangan ke depan
Meskipun beberapa capaian telah diraih, langkah strategis dan terstruktur tetap diperlukan untuk menjaga keberlanjutan pengembangan ekonomi syariah Indonesia. Arah pengembangan ekonomi syariah Indonesia perlu naik kelas dari kebijakan yang bersifat segmentatif dan ad hoc menjadi kebijakan nasional yang dijalankan pemerintah secara komprehensif dan berkesinambungan.
Untuk mewujudkannya, perlu dilakukan beberapa langkah utama. Pertama, inventarisasi dan pemetaan hambatan pengembangan ekonomi syariah perlu dilakukan dengan mengevaluasi target dan capaian sebelumnya. Sebagai contoh, misi utama dalam rapat pleno 3 KNEKS ialah menjadikan Indonesia sebagai pusat produsen halal dunia. Terdapat dua isu utama untuk mencapai misi tersebut, yaitu KIH dan sertifikasi halal.
Meskipun KIH telah terbentuk, tingkat keterisiannya masih menjadi isu yang berdampak pada minimnya aktivitas KIH. Karena itu, pembentukan KIH untuk mendukung industri halal dalam negeri belum cukup terlihat dampaknya. Maka itu, keterlibatan stakeholder, khususnya sektor swasta dalam mendatangkan investor dan menghidupkan KIH tersebut, menjadi niscaya untuk dilakukan.
Isu kedua ialah percepatan sertifikasi halal. Perlu ditimbang dan diukur kembali target dan timeline yang sudah ditetapkan pemerintah melalui BPJPH, khususnya target sertifikasi halal di level usaha mikro dan kecil (UMK).
Semestinya, target utama yang ditetapkan ialah percepatan sertifikasi di sektor hulu dan bahan baku sebab produk di tingkat UMK tergantung pada kedua sektor tersebut. Apabila keduanya telah tersertifikasi, akan lebih mudah bagi UMK dalam mengajukan halal self-declare dan mencapai target sertifikasi halal nasional.
Kedua, perlunya perhatian pada pengembangan sektor keuangan syariah sebagai motor penggerak ekonomi syariah. Upaya peningkatan marketshare keuangan syariah seharusnya tidak terbatas pada aksi konsolidasi perbankan syariah saja, tetapi juga pada penetrasi dan inklusi pada masyarakat luas. Maka itu, diperlukan lebih dari satu bank syariah besar untuk meningkatkan competitiveness pada industri sehingga produk dan layanan yang ditawarkan kepada masyarakat lebih bersaing dan efisien.
Sedikit dari banyak isu di atas perlu menjadi perhatian dan masuk ke komponen penyusunan MEKSI jilid kedua atau MEKSI 2024-2029. Penyusunan MEKSI jilid dua itu merupakan langkah awal dalam menjaga kontinuitas visi dan misi ekonomi syariah Indonesia dalam MEKSI sebelumnya. Maka itu, dokumen tersebut perlu memuat strategi dan program prioritas pengembangan ekonomi syariah di Indonesia selama 5 tahun ke depan dan menjadi acuan utama bagi stakeholder ekonomi syariah.
Untuk itu, keterlibatan seluruh kementerian dan lembaga terkait ekonomi syariah penting dalam proses penyusunannya.
Terakhir, target dan sasaran yang akan disusun dalam MEKSI 2024–2029 perlu diusulkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Itu disebabkan melalui kedua dokumen tersebut, keberlangsungan arah pengembangan ekonomi syariah secara nasional dapat dijalankan secara lebih terukur oleh kementerian dan lembaga yang terlibat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved