Tugas MUI, Mengembalikan Fungsi Ulama

Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah
26/7/2023 05:00
Tugas MUI, Mengembalikan Fungsi Ulama
(Dok. Pribadi)

ADALAH sebuah malapetaka jika seorang yang mengaku beriman, tapi culas dalam perbuatannya (Ahmad Syafii Maarif, 2009: 267).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), culas bermakna curang, tidak jujur, tidak lurus hati. Buya Syafii Maarif yang dalam hidupnya pernah memimpin Muhammadiyah selama lebih dari tujuh tahun (1998-2005), kerap kali berefleksi, melakukan otokritik terhadap perilaku umat Islam, termasuk para ulama yang sudah pasti mengaku beriman.

Mengapa ulama sudah pasti mengaku beriman? Karena kalau ada yang menuduhnya kafir, ia pasti marah, dan yang menuduhnya bisa dijerat pasal penghinaan atau bahkan pasal penodaan agama.

Pada hari ini (Rabu, 26 Juli 2023) merupakan ulang tahun ke-48 Mejelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai kado ulang tahun bagi organisasi tempat berkumpulnnya ulama, saya kira ada baiknya kita melihat secara jernih berbagai masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini, untuk kemudian dicari jalan keluarnya yang relevan. Menurut saya, persoalan ini penting diwacanakan agar para ulama menyadari bagaimana fungsi dan tugas mereka di tengah-tengah masyarakat.

Di antara masalah krusial yang dihadapi umat Islam kini --atau bahkan mungkin sepanjang waktu-- yang paling pokok ialah bagaimana memfungsikan agama secara benar di tengah-tengah masyarakat.

Tak ada yang bisa membantah bahwa agama berisi ajaran-ajaran mulia dan agung. Di Indonesia, agama menjadi aspek yang dianggap paling penting dalam kehidupan manusia, yang ajaran-ajarannya senantiasa didakwahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Namun, pada saat yang sama, pelanggaran terhadap agama selalu muncul, bahkan dalam kualitas dan kuantitas yang tak terukur. Larangan pembunuhan, kekerasan seksual, dan korupsi ialah di antara dosa besar yang sering dilanggar, termasuk oleh tokoh agama.

Fungsi ulama, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW, ialah pewaris para Nabi. Tugas pokok para Nabi ialah dakwah. Namun, mengapa dakwah agama menjadi angin lalu, padahal di era berkembangnya media sosial (medsos) sekarang ini, ceramah agama (dakwah) bisa kita temukan di setiap waktu dan tempat. Boleh dikatakan, tidak ada ruang yang luput dari dakwah. Maka, di sinilah letak signifikansi kerisauan Buya Syafii tentang kemungkinan terjadinya malapetaka. Dakwah sudah merebak di mana-mana, ruang nyata dan maya, tapi keculasan tetap merajalela.

Agama –apa pun namanya-- berisi ajaran-ajaran, doktrin, dan peraturan mengenai bagaimana tata cara hidup yang baik. Artinya, secara fungsional agama sama saja, misalnya, dengan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan dalam suatu negara. Bedanya, jika undang-undang dibuat manusia, agama diyakini bukan buatan manusia, melainkan berasal dari sesuatu yang transenden, yakni Tuhan Yang Serba Maha.

Oleh karena berasal dari Yang Serba Maha inilah, banyak orang salah kaprah, menganggap agama sebagai makhluk serbabisa. Padahal, sebagai doktrin, ajaran, atau aturan main berfungsi atau tidaknya sangat tergantung pada siapa yang mengaktualisasikannya.

Betul bahwa agama memiliki kebenaran serbaideal karena berasal dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran mutlak, tetapi kebenaran agama tidak berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Meminjam istilah Clifford Geertz, agama tidaklah sesuatu yang otonom, tetapi berada dalam suatu realitas objektif yang secara signifikan memengaruhi, baik interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut.

Memang, idealnya, agama harus tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk budaya yang destruktif bagi kemanusiaan. Namun, pada faktanya, antara agama dan budaya saling memengaruhi, atau bahkan saling memperalat.

Dari uraian ini, saya ingin mengungkapkan bahwa meskipun agama bukanlah candu masyarakat --sebagaimana anggapan Karl Marx-- bukan berarti menganggap agama sebagai obat mujarab bagi segala macam penyakit. Mengharapkan tegaknya supremasi hukum, berkurang atau terhapusnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terciptanya kehidupan harmonis dan saling tolong-menolong, dan lain-lain, hanya semata-mata bergantung pada perbaikan pola hidup beragama (seperti pembaruan, penafsiran kembali, dan semacamnya), bukanlah jalan keluar yang tepat.

Munculnya beragam penyakit sosial bukanlah semata-mata disebabkan karena kesalahpahaman dan atau disfungsi agama, melainkan lebih karena faktor-faktor sistemis, terutama sistem politik yang secara signifikan sangat berpengaruh, dan (bahkan) bisa mengintervensi dan memaksakan kehendak pada semua warga masyarakat.

Suatu sistem politik negara yang koruptif, misalnya, sangat potensial atau bahkan dipastikan bisa menyebabkan seluruh aspek kemanusiaan-termasuk agama -menjadi tercemar. Hal ini bisa dipahami karena negara, seperti kata Thomas Hobbes, bisa menjelma menjadi ‘Tuhan’ yang di samping memiliki kekuasaan mutlak, tetapi suatu saat juga bisa menjelma menjadi ‘leviathan’, sejenis monster air yang jahat.

 

Mengembalikan fungsi agama

Menurut para ulama, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya --bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)-- dalam kehidupan kemanusiaan. Masalahnya, di balik keyakinan para ulama ini, mengintai kepentingan para politikus. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.

Yang lebih sial lagi, di antara para ulama, tidak sedikit yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya, dan para elite agama ini pun tentunya sangat jeli, dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politikus yang mabuk kekuasaan dan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.

Namun, perlu dicatat, dalam proyek ‘kerja sama’ ini tentunya para politikus jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat religius, yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya ialah politisasi agama.

Di tangan penguasa atau politikus yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengotak-ngotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.

Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan segenap ulama, terutama yang ada di organisasi-organisasi Islam, seperti MUI. Ulama harus mampu mengembalikan fungsi agama dengan cara melakukan –meminjam istilah Kuntowijoyo—objektifikasi. Agama bukan sekadar seperti benda yang harus dimiliki, melainkan juga sebagai nilai yang melekat dalam hati.

Mengapa kita sering takut kehilangan agama? Karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak ialah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati.

MI/Seno

 

Fungsi ulama

Mengembalikan fungsi agama harus paralel dengan mengembalikan fungsi ulama karena antara agama dan ulama ialah satu kesatuan, ibarat gula dengan manisnya, atau garam dengan asinnya.

Karena ulama ialah pewaris para Nabi, maka fungi ulama yang benar ialah sebagaimana fungsi Nabi yang rahmatan lil‘alamin dan menjadi teladan yang baik bagi siapa pun.

Rahmatan lil’alamin artinya bersikap terbuka untuk berbuat dan menanam kebajikan bagi semua kalangan. Terbuka terhadap perbedaan pemikiran dan pemahaman, dari mana pun datangnya perbedaan itu. Jangan hanya menerima perbedaan dari kalangan yang mayoritas, tetapi mengecam perbedaan dari kalangan minoritas, termasuk perbedaan pemikiran individual.

Dikisahkan, bahwa Rasulullah SAW diminta untuk melaknat orang-orang musyrik, kemudian Nabi menjawab, “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, melainkan aku hanya diutus untuk menjadi rahmat. Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”

Kerap kali kita temukan, jika perbedaan itu datangnya dari kelompok mayoritas, disikapi dengan toleransi dan lapang dada. Namun, jika perbedaan itu dari kelompok minoritas, apalagi dari individu yang kontroversial, dianggap sebagai penyimpangan hingga divonis sesat, atau bahkan dianggap menodai agama.

Jika sudah demikian, alih-alih memberi rahmat malah menebar laknat. Yang pendapatnya tidak sama dengan MUI, misalnya, divonis sesat. Dalam kata sesat tidak ada unsur kebenaran. Padahal, kata Imam Syafii, yang pendapat-pendapatnya menjadi mazhab utama di Indonesia. “Pendapatku benar, tapi mungkin mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin mengandung kebenaran.”

Sebagai pewaris, ulama seharusnya meneladani kehidupan para Nabi, selain memiliki keimanan yang kuat juga memiliki sifat terbuka, mengayomi, dan bersahabat dengan semua kalangan sehingga ulama memiliki manfaat yang konstruktif bagi kehidupan masyarakat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya