Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Perihal Dosen, Pemikir dan Sketsa Politik: Sebuah Kajian

Thomas Tokan Pureklolon Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Pelita Harapan
07/7/2023 05:10
Perihal Dosen, Pemikir dan Sketsa Politik: Sebuah Kajian
(Dok. Pribadi)

MENJADI dosen berarti siap sebagai pengajar, pembimbing dan pendidik yang tetap tangguh. Utamanya menampilkan esensi mengajar untuk membuka berbagai cakrawala pemikiran. Esensi membimbing untuk menyingkapkan pengertian pengetahuan yang baik dan benar, di mana dosen sendiri telah jadi role model, dalam pengertian telah memenuhi kriteria akademik pada level tertentu.

Sebagai dosen, menampilkan esensi mendidik untuk mengungkapkan beragam nilai secara terang-benderang dengan berinduk pada kejujuran dan integritas. Sebagai dosen, tak hentinya menjadi pelayan dan pengabdi dalam bidang pendidikan, dan bisa terjadi dalam berbagai bidang lain, apa saja.

Terhadap semuanya itu, segala mahakarya dan aktivitas mendidik, sekaligus sebagai mahkota seorang dosen, ialah selalu bernaung di bawah payung Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan mengoptimalkan Pendidikan dan Pengajaran, Melakukan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, dalam aktivitas akademiknya.

Menjadi dosen berarti siap memiliki sebuah posisi dan peran mulia yakni sebagai seorang pemikir dalam pelayanan pada bidang pendidikan. Lazimnya, dalam sivitas akademika komunitas kampus terdapat sekelompok nyata yang merasa berkepentingan untuk berpikir dan memikirkan sesuatu secara intens dan sungguh-sungguh mendalam. Agar dapat menjalankan aktivitas tersebut, perlu ada keterpaduan dalam diri seorang dosen, yakni antara kemampuan intelektual, adanya kehendak, rasa, dan pelaksanaannya.

Dalam dunia akademik pada umumnya, secara inheren, objek pemikiran para intelektual ialah kebenaran, objek dari kehendak ialah kebaikan, dan objek dari rasa mereka ialah keindahan. Para dosen sebagai manusia pemikir yang memiliki keterpaduan dalam dirinya, pada hakikatnya bertugas mengabdi kepada apa yang dipikirkan (kebenaran), kepada apa yang dikehendaki (kebaikan), serta kepada apa yang dialami lewat rasa estetis (keindahan) dalam lingkungan komunitas yang tetap bernuansa mulia.

MI/Seno

 

Kebenaran, kebaikan, dan keindahan

Problem tentang kebenaran, kebaikan, serta keindahan tetap menjadi nilai-nilai dasar yang telah tertanam secara kodrati pada segala ‘yang berada’. Karena itu, pada abad pertengahan, adanya kecenderungan untuk mengatakan bahwa sebagai seorang scholar

 seharusnya memiliki bingkai pemikiran sebagai berikut, yakni Omne ens est unum, verum, bonum et pulchrum (segenap ‘totalitas’ atas segala yang berada adalah satu, benar, baik, dan indah). Yang menjadi akibat selanjutnya ialah peranan orisinal dari para dosen (original position) dalam mengabdikan diri kepada nilai-nilai dasarian dari segala yang berada.

Dalam pemahaman Thomas Aquinas, pada puncak abad pertengahan, manusia harus melakukan yang baik dan benar dan menghindari yang jahat dalam kehidupan bersama. Namun, sebuah pertanyaan yang segera menyusul ialah dari mana kita mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat, atau mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Bagi Thomas Aquinas, kita mengetahui dan mengenalinya dari hukum kodrat lewat akal budi kita.

Dari hukum kodrat pun kita tahu perbuatan mana yang baik dan benar, perbuatan mana yang buruk dan jahat. Kemantapan dalam berbuat yang baik (bonum) dan pada saat yang sama menolak yang jahat (malum) disebut keutamaan (virtue). Keutamaan itu sendiri merupakan sikap hati yang dapat dikatakan sudah mantap yang hadir untuk menjadi andalan dan terbentuk karena aktivitas atau tindakan yang terjadi. Sebagai contoh, makin kita membiasakan diri berpikir dengan kritis, makin kita biasa bertindak kritis dan makin gampang pula kita bertindak kritis.

Jadi, makin kritis kita dalam realitas sosial. Dengan demikian, keutamaan kekritisan terbentuk dalam diri kita (ala bisa karena biasa) yang selalu berlaku, yang merupakan cita-cita yang harus dikejar, tak pernah lekang oleh waktu dan berlaku pada setiap zaman, serta nilai-nilai kekritisan ini tetap diperjuangkan demi moralitas umat manusia.

 

Dosen dan pemikiran kritis

Menjadi dosen yang berpikir kritis (critical thinking) tentunya bertugas untuk mengabdikan diri kepada kebenaran. Mengabdi, itu sebuah aktivitas. Sebelum mengabdi perlu mencari, dan sebelum mencari perlu mencintai kebenaran, dan kalau mau tetap maju dalam pemikiran maka pada kondisi tertentu ‘tanpa menghiraukan’ entahkah ada orang yang menyukainya atau tidak, tidak akan menjadi permasalahan utama.

Tesis dasar John Locke dalam hal ini, para dosen sapatutnya berbangga bahwa mereka memiliki peranan yang mulia yakni mencintai, mencari, dan mengabdi kepada kebenaran. Untuk menilai keseluruhan kebenaran dalam dunia yang terus memperebutkan dan menjunjung tinggi kebenaran, ada sebuah ungkapan yang menyelisik pemikiran kita: “Setiap orang tentu mencari kebenaran, dengan ciri khas argumentasinya: Di mana ada kebenaran, di situ akan timbul damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (bdk. Yes, 32;17).”

Sesuatu yang menarik di sini yakni tiga nilai dasar yang diperoleh dalam kebenaran, seperti damai sejahtera, ketenangan, dan ketenteraman adalah terjadi dalam waktu yang akan datang (future). Berarti, kebenaran selalu saja diuji dalam waktu untuk memperoleh nilai-nilai tersebut. Utamanya seorang dosen terus berjuang dalam aktivitas mendidik dengan sebuah sikap kritis, dalam sebuah kurun waktu yang tidak berhingga yakni selalu dalam proses (on going).

 

Dosen dan sketsa politik

Konstelasi dan konfigurasi politik kita ke depannya masih sulit untuk mencapai kemapanan dan kestabilan. Tetaplah diperjuangkan tak pernah henti dalam sebuah pembangunan politik khususnya dalam bidang pendidikan. Partai-partai masih sibuk dengan urusan dan gesekan internal mereka yang tidak mudah diselesaikan. Sebagai seorang akedemisi, setiap kali terjadi pemilihan umum, selalu saja muncul sikap skeptis pada kultur politik kita yang masih saja bersifat transisional dengan ‘menyisipi’ politik identitas.

Seperti yang disinyalir oleh Hersubeno Arief bahwa politik aliran sesungguhnya adalah istilah yang netral karena menggambarkan secara sosiologis afiliasi politik pada satu kelompok berdasarkan pada kesamaan latar belakang agama, ras, profesi, ataupun ideologi. Wacana politik mutakhir sekarang, terutama pasca-Pilkada DKI 2017, mendapat makna peyoratif (peyorative meaning) yakni mau mendiskreditkan suatu golongan agama tertentu.

Konteksnya ialah konflik atau berselisih dalam soal agama dan pada saat yang sama saling mengeklaim problem tentang ketuhanan, jelas tak pernah ada habisnya karena pada hakikatnya sesuatu yang terkait dengan dimensi ketuhanan bisa diklaim oleh tiap-tiap kelompok sebagai yang paling benar dan bersifat absolut.

Selanjutnya, jika seluruh urusan agama selalu dikaitkan dengan politik maka semuanya berpotensi benar dan salah, baik dan buruk selalu ‘terhabok’ di tempat. Karena, sekali lagi, dalam akitivitas politik (political behaviour), urusan fakta dalam politik menjadi urutan belakangan; yang utamanya ialah tentang ‘klaim-mengeklaim’. Yang perlu didorong ialah negara harus kuat (strong state) dan tidak perlu membiarkan politik identitas merajalela agar tidak terjadi benturan identitas primordial yang pada akhirnya masing-masing mengeklaim bahwa kelompoknya atau bagiannya yang sangat benar dan hebat.

Dalam membaca segala perkembangan sistem politik pada sebuah negara, konteks Indonesia, orang tidak mungkin melompat dari suatu kevakuman. Sebagai dosen yang akibat kerja kerasnya dalam menyerap berbagai nilai akademik dalam proses pendidikan yang tidak mudah, sampai siapa pun seorang dosen dapat disebut sebagai pemikir, itu semua tidak lepas dari latar belakang sosiohistoris dari perkembangan pendidikan seorang dosen. Semuanya mesti dilihat secara tajam, terus dipandang secara jernih dan evaluatif oleh siapa pun.

Realitas politik yang dewasa ini kita hadapi, yang serba tidak menentu, menunjukkan bahwa kualitas diri seorang dosen sebagai pemikir dalam tataran akedemik mestinya juga menjadi awasan negara dan pemangku kepentingan secara serius.

Pertanyaan terbukanya ialah, entahkah dasar dari sebuah sistem yang kita bangun dalam dunia pendidikan terlalu terorientasi tentang hal-hal yang bersifat instrumental ketimbang yang substansial? Dan, entahkah sistem politik yang kita bangun belum kokoh dalam proses berdemokrasi di politik di Indonesia? Mari kita kaji selanjutnya untuk menemukan esensi yang berguna demi bangsa dan negara.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya