Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Regulasi OJK dan Eksistensi Green Bond Indonesia

Annisa Ulya Novriana Pegawai di Otoritas Jasa Keuangan
23/12/2022 05:00
Regulasi OJK dan Eksistensi Green Bond Indonesia
(MI/Seno)

PERUBAHAN paradigma ekonomi dari pertumbuhan menjadi pembangunan berkelanjutan pada Earth Summit 1992 telah memperkenalkan konsep triple bottom line (profit, people, dan planet). Sebagai proses yang berkesinambungan, pada 2015 diselenggarakan Conference of the Parties (COP) 21 yang menghasilkan Paris Agreement sebagai komitmen negara-negara di dunia untuk aktif dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Menanggapi komitmen tersebut, Indonesia kemudian meratifikasi Paris Agreement ke dalam UU No 16 Tahun 2016.

 

Membuat pedoman 

Sebagai bagian dari regulator di Indonesia, OJK turut mendukung melalui program keuangan berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan supply pendanaan yang merupakan salah satu fokus utama OJK dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019), OJK membuat berbagai pedoman peningkatan kapasitas industri keuangan dalam pendanaan berkelanjutan dan menerbitkan kerangka pengaturan, persyaratan pengungkapan, serta penerbitan green bond dalam POJK No 60/POJK.04/2017. Pada perkembangannya, eksistensi green bond di Indonesia jika ditinjau dari total akumulasi penerbitan merupakan yang tertinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.

Untuk mewujudkan komitmen dalam Paris Agreement, Bappenas menyebutkan Indonesia membutuhkan sebesar Rp67.803 triliun pembiayaan sampai 2030. Realitasnya, hingga 2020, pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan rata-rata Rp89,6 triliun setiap tahunnya. Hal itu jauh di bawah target pemerintah per tahun sebesar Rp226,25 triliun atau 39% dari target alokasi tahunan.

Berangkat dari status quo yang ada, dalam rangka menutupi keterbatasan ruang fiskal, OJK bersama pemerintah turut aktif mencari alternatif pendanaan. Dengan melihat tren green bond yang positif, hal itu menunjukkan adanya pergeseran paradigma investor ke instrumen keuangan hijau.

Merespon hal itu, OJK dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II akan mengintegrasikan tujuh komponen dalam satu kesatuan ekosistem, yakni kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi dengan kementerian/lembaga, dukungan nonpemerintah, SDM, dan awareness. Oleh karena itu, peran OJK sebagai regulator yang inklusif terhadap kondisi pasar global sangat diperlukan. CBI melihat hambatan dan tantangan green bond di Indonesia dari sisi nilai, likuiditas, hingga awareness secara global.

Sampai 2021, pemerintah mendominasi penerbitan green bond sebesar 63%. Hal itu disebabkan kapabilitasnya dalam penerbitan green bond dengan size yang besar. Homogenitas size green bond Indonesia yang diterbitkan hanya di range 500 juta-1 miliar USD apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang banyak menerbitkan dengan berbagai size.

Tidak adanya diversifikasi itu dipengaruhi biaya penerbitan yang besar dan berlaku sama untuk seluruh size, seperti biaya reviewer pihak ketiga, perolehan peringkat kredit, penyusunan prospektus obligasi, dan biaya hukum. Nilai itu tidak seberapa bagi perusahaan besar, tetapi akan menjadi masalah bagi perusahaan kecil.

Mengantisipasi hal tersebut, OJK perlu mempertimbangkan tarif pihak ketiga yang disesuaikan dengan kapasitas penerbit. Selain itu, kebijakan skema pembiayaan, seperti grant scheme oleh Monetary Authority of Singapore (MAS), untuk memenuhi biaya pre-post penerbitan green bond dapat dilakukan.

Selanjutnya likuiditas yang sejalan dengan volume perdagangan di pasar sekunder negara berkembang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara maju. Rendahnya daya tarik green bond di Indonesia tecermin dari fakta yang menyatakan 30 perusahaan besar Indonesia memasarkan bond mereka di luar negeri. Padahal, nilai tersebut merepresentasikan 74% bond yang outstanding di BEI.

Menilik lebih jauh eksistensi green bond secara global, kompleksitas risiko mata uang tidak dapat dihindari seperti fluktuasi nilai tukar yang memengaruhi nilai investasi dan pada akhirnya mengubah biaya pengembalian.

Keraguan investor atas ketidakpastian green bond Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, jaminan sebagai kelayakan kredit yang tinggi karena risiko dan volatilitas pasar negara berkembang. Kedua, perbedaan suku bunga di setiap mata uang yang mengakibatkan biaya lindung nilai tidak dapat diprediksi. Ketiga, biaya transaksi oleh pelaku pasar bergantung dengan volume perdagangan yang lebih tinggi untuk pasar yang kurang likuid. Keempat, nilai yang akan datang tidak jelas karena mengingat fluktuasi nilai tukar rupiah yang tidak menentu. Kelima, timbulnya biaya kewajiban yang belum terealisasi bursa asing.

Oleh karena itu, dalam menjaga stabilitas efek yang diperdagangkan, OJK perlu mengoptimalkan hedging tools untuk memitigasi risiko nilai mata uang dan kebijakan pembiayaan yang tepat sasaran.

Kehadiran pembiayaan hijau di Indonesia tidak lepas dari peran eksternal. Asian Development Bank (ADB) pernah mewarnai penerbitan pertama green bond dengan mengalokasikan US$269,47 juta untuk mitigasi risiko penerbitan (Climate Change Financing Project, 2021). Oleh karena itu, OJK juga perlu melanjutkan kerja sama dengan lembaga multilateral lainnya.

Dari sisi kebijakan, dalam POJK No.51/POJK.04/2017 pada Pasal 8 menyebutkan bahwa green bond wajib paling sedikit 70% digunakan untuk membiayai KUBL. Artinya, 30% berpotensi digunakan umum dan tidak berwawasan lingkungan. Sri Mulyani mengatakan bahwa 79% penerbitan green bond didominasi non-green investor. Oleh karena itu, OJK perlu menerapkan kebijakan berkesinambungan agar penerbitan green bond secara keseluruhan ditujukan untuk kegiatan berwawasan lingkungan sehingga sejalan dengan Green Bond Principle.

Selain itu, awareness pentingnya pembiayaan hijau merupakan hambatan internal negara berkembang seperti Indonesia (CBI, 2022). Rendahnya awareness menyebabkan calon pelaku pasar mengurungkan niat untuk menerbitkan atau berinvestasi pada green bond.

 

Kebijakan yang inklusif

Sebagai regulator gerbang penerbitan green bond, OJK bertanggung jawab atas keberlangsungan dan optimalisasi green bond dengan mengambil kebijakan yang inklusi. Dengan menyesuaikan kondisi pasar green bond secara global, diharapkan eksistensi green bond terus tumbuh dan optimal.

Dengan mengintegrasikan tujuh komponen keuangan berkelanjutan dengan green bond di pasar global, pada akhirnya tidak hanya akan mengantarkan pada terpenuhinya kewajiban Indonesia dalam penurunan emisi GRK, tetapi juga akan menggeser paradigma masyarakat untuk berkolaborasi dan bersinergi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang baik.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya