Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Aksi Nyata Atasi Perubahan Iklim

Nirwono Joga Pusat Studi Perkotaan
04/11/2022 05:05
Aksi Nyata Atasi Perubahan Iklim
(Ilustrasi)

FENOMENA pemanasan global dan dampak perubahan iklim semakin nyata di dalam kehidupan kota kita. Perubahan cuaca juga semakin tidak menentu.

Di saat bersamaan, KTT PBB untuk Perubahan Iklim (Conference of the Parties/COP) kembali digelar, yakni COP Ke-27 yang akan berlangsung di Sharm el-Sheikh, Mesir, 6-18 November 2022. Masyarakat dunia berharap akan hasil keputusan aksi nyata atasi perubahan iklim. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

 

Aksi nyata

Pertama, kota-kota harus siap mengatasi banjir di musim hujan dengan intensitas semakin sering dan curah hujan semakin ekstrem. Ada tiga tipe banjir yang perlu diatasi, yaitu banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob (untuk kota/kawasan pesisir). Banjir kiriman diakibatkan luapan air sungai yang membanjiri permukiman di sekitar bantaran sungai. Banjir lokal diakibatkan buruknya sistem saluran air/drainase kota. Banjir rob dipengaruhi proses alam bulan purnama sehingga terjadi limpasan air laut ke daratan.

Maka, solusinya sudah jelas. Untuk mengatasi banjir kiriman ialah membenahi badan sungai dengan cara dikeruk, diperdalam, diperlebar, dan dihijaukan bantarannya, serta diikuti relokasi permukiman warga ke rusunawa. Hal itu didukung revitalisasi situ/danau/embung/waduk (SDEW) sebagai daerah tangkapan air (ruang limpasan sungai), juga perluasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan air alami.

Kedua, untuk mengatasi banjir lokal akibat hujan lokal dengan intensitas tinggi dan curah hujan lebat/ekstrem, pemerintah kota harus merehabilitasi seluruh saluran air/drainase dengan memperbesar dimensi saluran air eksisting. Misalnya, dimensi saluran air dari 50 sentimeter (cm) menjadi 1,5 meter (m), 1 m ke 3 m, 1,5 m ke 5 m. Saluran air terhubung ke SDEW dan RTH terdekat untuk ditampung dan diresapkan ke dalam tanah (ekodrainase).

Untuk mengatasi banjir rob, pemerintah kota harus merestorasi kawasan pesisir pantai secara komprehensif. Koridor pantai selebar minimal 500 meter ke arah daratan bebas dari bangunan permukiman, serta merelokasi warga pesisir ke rusunawa terdekat. Selanjutnya, mereforestasi hutan mangrove sebagai benteng alami meredam banjir rob (mencegah ancaman tenggelam), mencegah abrasi pantai, meredam terjangan tsunami, memulihkan ekosistem mangrove sebagai habitat dan kembang biak ikan, udang, kepiting, dan kerang bagi nelayan. Juga, menyerap dan menyimpan karbon serta mereduksi emisi karbon di atmosfer.

Ketiga, persoalan kedua yang dihadapi kota ialah kemacetan lalu lintas yang semakin parah, yang berakibat pada memburuknya kualitas udara kota dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Pemerintah kota harus menyiapkan strategi untuk mengurai kemacetan lalu lintas dan memperbaiki kualitas udara kota. Kota harus mempercepat pembangunan dan integrasi seluruh transportasi publik (moda raya terpadu (MRT), lintas raya terpadu (LRT), bus trans, angkutan umum, angkutan tradisional) yang andal dan terjangkau demi memberikan kemudahan mobilitas dan aksesibilitas warga ke berbagai tempat tujuan harian seperti sekolah, kantor, toko/pasar/pusat perbelanjaan, atau taman.

Beragam pilihan transportasi publik itu bertujuan mendorong orang untuk beralih menggunakan angkutan umum dan membatasi/mengurangi bertahap/meninggalkan kendaraan pribadi. Hal itu akan berdampak pada pengurangan/penguraian kemacetan lalu lintas di pusat kegiatan kota sebagai kawasan rendah emisi karbon.

Keempat, pengembangan kawasan rendah emisi mensyaratkan dukungan sistem transportasi publik yang beragam dan terintegrasi, jaringan sirkulasi pejalan kaki terpadu, infrastruktur pesepeda yang memadai, bangunan gedung hijau, serta budaya berjalan kaki dan bersepeda di masyarakat. Seluruh kendaraan beralih menggunakan bahan bakar energi baru terbarukan (listrik, biogas, hidrogen), dimulai dari transportasi publik, bus pegawai/sekolah/pariwisata, kendaraan operasional pemerintah, serta pemberian insentif khusus bagi pemilik kendaraan pribadi ramah lingkungan.

Jaringan infrastruktur pejalan kaki berupa trotoar, tempat penyeberangan (zebra crosspelican crossing), serta jembatan/terowongan penyeberangan/penghubung). Infrastruktur pejalan kaki ini harus ramah anak-anak, ibu hamil, warga lansia, dan kelompok disabilitas. Jembatan/terowongan penghubung antarbangunan dalam kompleks/kawasan perkantoran/pusat perbelanjaan/komersial dan ke/dari terminal/stasiun/halte akan memudahkan pejalan kaki mencapai tujuan tanpa harus keluar bangunan.

Kelima, pemerintah kota harus mengevaluasi rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang kota/kawasan perkotaan yang adaptif, antisipatif, dan mitigatif terhadap perubahan iklim. Terutama untuk kota pesisir. Kota harus membangun peradaban kota tangguh iklim.

Pemerintah pun harus mengendalikan pembangungan kota, serta menata/menertibkan kawasan sesuai rencana tata ruang kota. Jika setiap kota berhasil mengurangi dampak banjir dan mencegah krisis air bersih, menguraikan kemacetan lalu lintas dan menurunkan polusi udara, serta membangun kota sesuai rencana tata ruang, maka peradaban kota iklim akan terwujud.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya