Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Urgensinya Strategi Kebijakan BBM yang Terintegrasi

Irnanda Laksanawan Strategic Advisor-Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS)
05/4/2022 05:00
Urgensinya Strategi Kebijakan BBM yang Terintegrasi
(MI/Seno)

KALI ini bukan April mop! PT Pertamina (persero) resmi menaikkan harga bahan bahar minyak (BBM) jenis pertamax dari Rp9.000 per liter menjadi Rp12.500 per liter. Dasarnya ialah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.

Kebijakan lainnya ialah menetapkan BBM RON 90 alias pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP). Artinya, Pertalite dipastikan menjadi jenis BBM yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Keputusan ini tentu sudah melalui berbagai pertimbangan oleh semua pihak terkait. Apalagi, komponen terbesar dari struktur biaya BBM ialah biaya perolehan produk. Padahal, harga minyak acuan yang digunakan pemerintah untuk menentukan harga BBM domestik ialah MOPS (Mean of Plats Singapore) terus melonjak akibat konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

Seiring harga ICP Maret 2022 yang melampaui US$114 per barel, atau naik 35% dari ICP Desember 2021 sebesar US$73 per barel, tentu ini membebani keuangan Pertamina. Tak kurang, Komisi VI DPR RI, yang salah satu tugasnya mengawasi sektor badan usaha milik negara (BUMN), mendorong PT Pertamina untuk segera melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi jenis bensin RON 92 atau pertamax. Pasalnya, harga jual pertamax ini sudah jauh dari nilai keekonomian. Berdasarkan data ESDM, harga keekonomian pada Maret 2022 sebesar Rp14.526 per liter.

 

Dampak penyesuaian harga BBM

Meskipun polemik yang menyertai penaikan harga pertamax belum reda, wacana publik kembali hangat setelah beberapa hari lalu Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sinyal adanya potensi penaikan harga BBM jenis pertalite hingga elpiji 3 kilogram.

Pada setiap momentum penaikan harga BBM, pasti terjadi pro-kontra dan kekhawatiran akan memicu kenaikan inflasi. Namun, melihat porsi penggunaan pertamax saat ini hanya 12% dari total konsumsi BBM nasional, agaknya penaikan harga ini tidak berpotensi memicu dampak inflasi. Terlebih, pertamax ini banyak digunakan oleh konsumen kelas menengah atas dengan daya beli yang kuat.

Yang jadi persoalan sekarang ialah, apabila sebagian kelas menengah yang selama ini menggunakan pertamax kemudian beralih ke pertalite. Hal itu tentu akan menyebabkan naiknya permintaan pertalite, yang berpengaruh pada kemampuan pasokan dan ketersediaan Pertamina. Dampak lainnya, tentu membengkaknya subsidi yang harus ditanggung pemerintah, mengingat pertalite sudah ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP).

Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme yang efektif untuk mempertahankan pengguna pertamax tidak beralih menggunakan pertalite. Ini mudah diucapkan, tapi sulit untuk dilakukan. Apalagi, selama ini baru sebatas imbauan dan sosialisasi yang sifatnya persuasif.

Di sisi lain, potensi melonjaknya besaran subsidi BBM juga patut diantisipasi. Mekanisme subsidi yang dijalankan saat ini ialah subsidi terhadap barang (produk), bukan pada orang. Subsidi ini sifatnya terbuka sehingga tidak ada larangan konsumen kelas menengah atas, atau kendaraan jenis apa pun, untuk membeli BBM subsidi.

Dalam APBN 2022, pemerintah mengalokasikan total anggaran subsidi sebesar Rp206,9 triliun. Anggaran itu dibagi untuk subsidi energi sebesar Rp134 triliun dan untuk subsidi non-energi Rp72,9 triliun. Jika diperinci lagi, anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 dialokasikan untuk subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu sebesar Rp11,3 triliun, subsidi elpiji tabung 3 kg senilai Rp66,3 triliun, dan subsidi listrik Rp56,5 triliun.

Karena itu, perlu segera diselesaikan upaya peralihan sasaran subsidi, dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi berbasis orang. Disertai perbaikan mekanisme teknis, semisal kerja sama dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda), optimalisasi penggunaan aplikasi seperti MyPertamina yang berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), atau penggunaan Kartu Keluarga Sejahtera. Upaya penyempurnaan mekanisme teknis secara operasional ini diharapkan agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.

Langkah pemerintah untuk mempertahankan harga pertalite dan pertamax di bawah harga keekonomian menjadi strategi yang efektif dalam jangka pendek untuk menjaga inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat. Namun, apabila kebijakan ini bersifat jangka panjang, akan menyebabkan alokasi subsidi BBM semakin naik, dan tentunya akan makin membebani APBN. Padahal, alokasi subsidi dapat dialihkan untuk sektor lain yang produktif, atau untuk mendorong akselerasi pengembangan sector energi baru dan terbarukan (EBT).

 

Membuka diskusi publik

Penulis mengusulkan untuk membuka diskusi publik terkait kebijakan formula automatic pricing mechanism (APM) dalam penetapan harga BBM. Malaysia dan beberapa negara lain sudah lama menjalankan mekanisme ini. Kebijakan formula APM ini dirancang sebagai instrumen yang dapat menstabilkan harga bensin (bensin RON 95, bensin RON 97) dan solar sampai batas tertentu melalui pemberlakuan pajak penjualan dan subsidi dalam jumlah yang bervariasi. Perubahan harga eceran dipengaruhi oleh besaran pajak dan subsidi dalam batas tertentu sesuai kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Dengan kebijakan APM tersebut, pemerintah Malaysia menjaga harga BBM melalui pemberian insentif.

Selain komponen harga, keamanan pasokan BBM merupakan faktor yang menjadi prioritas perhatian bersama. Upaya membangun infrastruktur cadangan strategis minyak (strategic petroleum reserves/SPR) dalam konteks ketahanan energi nasional harus dilanjutkan. Ketersediaan SPR untuk antisipasi serapan impor dan keadaan darurat. Beberapa negara yang sudah memilikinya, antara lain Amerika Serikat, Jepang, dan India. Dalam 6 bulan terakhir, Amerika Serikat sudah melepas 180 juta barel SPR yang berhasil menurunkan harga minyak mentah.

Perlu juga dirumuskan strategi kebijakan BBM yang terintegrasi antara kepastian pasokan, price strategy, sasaran dan mekanisme subsidi, serta insentif, yang diharapkan mampu meminimalkan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi dan gejolak ekonomi nasional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya