Ulur-Tarik Waktu Pencairan JHT

Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan, Alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI angkatan ke-46
18/2/2022 05:20
Ulur-Tarik Waktu Pencairan JHT
(MI/Duta)

PERATURAN Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang ditandatangani 2 Februari 2022, menuai prokontra antara pemerintah dan buruh. Sesuai aturan dalam Permenaker itu, penggunaan hak JHT yang semula berlaku satu bulan setelah mengalami PHK atau pengunduran diri, baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun.

Pihak buruh berkukuh tidak ada alasan untuk menunda pencairan JHT hingga usia 56 tahun. Jelasnya, buruh menginginkan pencairan JHT tetap pada posisi semula, yaitu satu bulan setelah pengunduran diri atau PHK. Ulur-tarik tentang waktu (timing) pencairan JHT itu seyogianya perlu segera dihentikan agar tidak mengusik ketenangan buruh dalam bekerja. Pemberlakuan JHT dengan timing satu bulan yang diberlakukan sejak 2015 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 merupakan harapan buruh untuk dapat bertahan hidup ketika mengundurkan diri atau di PHK.


Waktu pencairan krusial

Secara faktual, waktu pencairan JHT amat krusial bagi buruh. Ditengarai, semakin lama pencairan JHT akan kian menurunkan kemampuan buruh yang berhenti bekerja akibat PHK atau pengunduran dalam bertahan hidup. Hal ini mengingat cukup banyak buruh di Tanah Air yang merupakan pekerja miskin. Hal itu, antara lain tecermin dari besar an upah minimum per kapita yang berada di bawah garis kemiskinan per kapita, terutama untuk pekerja dengan anggota rumah tangga yang banyak dan tidak bekerja.

Cukup banyaknya pekerja miskin di Tanah Air, antara lain dapat dicermati dari publikasi UNDP (2018) yang menyebutkan ada sekitar 27,6% pekerja tergolong miskin. Adapun kriteria pekerja miskin digolongkan pada mereka yang pendapatannya kurang dari US$3,10 per hari berdasarkan ukuran paritas daya beli (purchasing power parity/PPP).

Hampir dapat dipastikan, buruh terutama yang berstatus miskin, akan mengalami kepanikan dalam bertahan hidup ketika di PHK. Kepanikan bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan pangan, akan tetapi yang paling krusial ialah dalam soal pembiayaan pendidikan dan kesehatan anggota keluarga. Hal itu mengingat pembiayaan pendidikan dan kesehatan sifatnya tidak dapat ditunda. 

Pada kasus ekstrem ketidakmampuan buruh yang mengalami PHK dalam membiayai pendidikan dan kesehatan mengakibatkan anak putus sekolah atau penurunan derajat kesehatan. Hal ini umum terjadi saat krisis yang disertai dengan gelombang PHK. Saat krisis 1997 misalnya, partisipasi sekolah turun 5,6% poin, dan putus sekolah naik 11% poin (Bank Pembangunan Asia, 1999). Sementara itu, kunjungan layanan kesehatan turun 1,8% poin (Frankenberg et.al, 1999).

Potensi turunnya partisipasi sekolah, meningkatnya angka putus sekolah, dan turunnya derajat kesehatan dari angggota keluarga buruh yang diPHK barangkali bisa dicegah jika upah mereka tergolong layak. Dengan upah yang memadai setidaknya buruh dapat menabung dan membeli aset berharga, yang dapat dimanfaatkan untuk bertahan hidup ketika berhenti atau diberhentikan bekerja.

Maka dari itu, dengan upah yang belum cukup memadai, ketika PHK terjadi ekonomi rumah tangga mengalami disrupsi, sehingga perlu penerimaan pendapatan yang menjadi hak buruh, seperti pesangon dan JHT. Penerimaan pendapatan itu diharapkan dapat mengisi kekosongan upah akibat di PHK sembari mencari pekerjaan baru.


Kesempatan kerja

Lama waktu dalam mendapatkan pekerjaan merupakan persoalan lain dari timing pencairan JHT. Semakin lama memperoleh pekerjaan keberadaan JHT kian diperlukan agar kehidupan buruh dan keluarganya tidak kian memburuk. Namun, disadari dalam situasi pandemi covid-19 yang belum usai, kesempatan memperoleh pekerjaan di sektor formal memang tidak mudah diwujudkan. Pembatasan sosial yang belum sepenuhya usai disertai dengan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan kegiatan ekonomi sulit berkembang secara optimal. Akibatnya, kesempatan kerja menjadi terbatas, bahkan cendrung menurun.

Bagusnya, pemerintah kini berupaya memperluas kesempatan kerja melalui jalur informal, terutama dengan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengalaman saat krisis 1997/1998 kiranya dapat dijadikan pembelajaran bahwa kegiatan informal dapatmenjadi dewa penolong dalam penciptaan kesempatan kerja. Ketika itu, pekerja sektor formal turun 5,5% dan pekerja informal meningkat 4,8%, sisanya 0,7% tetap menganggur (BPS, 1998).

Secara faktual, bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, kegiatan informal kerap menjadi tumpuan harapan untuk berusaha dan bekerja agar tetapmemperoleh penghasilan. Dalam konteks itu, ada dua tujuan bagi pekerja di sektor informal. Pertama, sebagai tempat bekerja sementara sambil tetap berusaha mencari pekerjaan di sektor formal. Kedua, tetap bekerja di sektor informal dan berupaya serius untuk mengembangkannya sebagai tumpuan hidup.

Apa pun tujuan buruh yang kehilangan pekerjaan dan kini bekerja di sektor informal, yang terpenting ialah secepatnya dapat bekerja sehingga kehidupan mereka dan keluarganya dapat berjalan normal. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa buruh harus tetap berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga keluarga yang tidak bisa ditunda, terutama pendidikan dan kesehatan anak. Jika harus menunggu hingga usia 56 tahun kebutuhan keluarga akan terdistorsi dan dan berpotensi menurunkan kualitas hidup mereka.

Terkait dengan ulur-tarik soal timing pencairan JHT, pemerintah perlu meninjau ulang Permenaker No 2 Tahun 2022 dengan harapan dapat dikembalikan ke posisi semula. Jika ternyata pemerintah berketetapan menunda JHT agar sesuai dengan fungsinya sebagai jaminan hari tua, bantuan pemerintah seperti jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang direncanakan berlaku 22 Februari 2022 perlu segera disosialisasikan, dan besaran bantuannya perlu disesuaikan dengan JHT.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya