Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
OMBUDSMAN Republik Indonesia pada 29 Desember 2021 telah merilis rapor penilaian kepatuhan standar pelayanan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda) sebanyak 587 entitas. Hasilnya, secara keseluruhan hanya 30,5% atau sebanyak 179 yang dinilai dikategorikan patuh menerapkan standar pelayanan publik. Kepatuhan entitas kementerian mencapai 70,8%, sedangkan lembaga 80% berbanding terbalik dengan kepatuhan pemda.
Sektor pemda menjadi titik paling parah karena dari 548 (provinsi, kabupaten, dan kota) yang dinilai, hanya 27% dikategorikan zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi. Kemudian, sebanyak 55,1% masuk kategori zona kuning atau predikat kepatuhan sedang, dan 16,7% masuk zona merah dengan predikat kepatuhan rendah. Ini persoalan serius dan harus segera dilakukan evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kemenpan-Rebiro. Reformasi birokrasi yang dicanangkan sebagai program prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024 sepertinya masih jauh dari harapan.
Penilaian kepatuhan standar pelayanan publik dilaksanakan sejak 2013, yang secara bertahap disempurnakan diperbaiki dari segi metode dan pendekatannya. Penilaian ini dilakukan dengan tujuan untuk perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pelayanan publik dalam rangka mencegah malaadministrasi. Penilaian dilaksanakan oleh internal Ombudsman yang melibatkan perwakilan di seluruh Indonesia. Penilaian kepatuhan dilaksanakan berasaskan integritas, kepatuhan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan.
Ruang lingkup penilaian meliputi kepatuhan penyelenggara pelayanan terhadap pemenuhan standar pelayanan publik berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Objek penilaian meliputi kementerian, lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Total keseluruhan subtansi produk layanan yang dinilai ialah 29.179 yang terdiri dari layanan administrasi kependudukan 17,60%, pendidikan 18,00%, perizinan ekonomi 19,89%, perizinan nonekonomi 31,62%, dan layanan kesehatan 12,89%.
Presiden Joko Widodo dalam rekaman sambutannya saat penyerahan apresiasi kepatuhan mengatakan pelayanan publik yang prima tidak terjadi begitu saja, memerlukan komitmen, memerlukan upaya bersama entitas antarlembaga, memerlukan ikhtiar yang berkelanjutan, disiplin yang panjang, transformasi sistem, transformasi tata kelola, perubahan pola pikir dan perubahan pola kerja, dan mengubah kebiasaan dilayani dan melayani. Di masa pandemi, penyelengara publik dipaksa bertransformasi memanfaatkan teknologi untuk melakukan tugas-tugas pelayanan, melakukan digitalisasi pelayanan untuk mempermudah akses, dan memberikan pelayanan yang lebih cepat dan terjangkau.
Upaya-upaya transformasi yang telah dilakukan di masa pandemi dapat menjadi modal awal untuk mengembangkan inovasi pelayanan publik untuk menciptakan terobosan dan solusi. Jokowi berharap sudah saatnya mewujudkan birokrasi berkelas dunia secara merata dengan memanfaatkan dan mengembangkan inovasi digital yang insklusif untuk efisiensi, efektivitas produksi, dan akuntabilitas.
Komitmen kepala daerah
Sebenarnya isu pelayanan publik selalu menjadi topik menarik disuarakan pada saat kontestasi politik di daerah. Demi menggaet pemilih, semua calon dapat dipastikan selalu menempatkan prioritas utama dalam visi dan misinya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik apabila terpilih. Namun, seiring perjalanan waktu, hanya sedikit kepala daerah terpilih yang tetap konsisten pada janji politiknya mewujudkan pelayanan publik yang baik.
Seyogianya legislatif dapat berperan mengingatkan kepala daerah, tapi sering kali kebijakan dan politik anggaran disusun berdasarkan kepentingan situasional dan negosiasional. Gubernur, bupati, dan wali kota lupa akan janjinya sibuk dengan program pencitraan belaka mengumpulkan amunisi untuk kontestasi berikutnya. Tidak mengherankan pelayanan publik di daerah tersebut tidak banyak berubah, inefisiensi, inefektivitas, unprosedural, dan pungutan liar. Pada akhirnya masyarakat tidak merasakan manfaat dari birokrasi yang dilaksanakan.
Rendahnya kepatuhan mengimplementasikan standar pelayanan publik, akan mengakibatkan berbagai penyimpangan (malaadministrasi) layanan di instansi penyelenggara publik. Hal ini akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan terhambatnya pertumbuhan investasi, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mengarah pada apatisme publik. Adalah keniscayaan dan kewajiban setiap penyelenggara pelayanan publik untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Ombudsman memberikan saran agar kementerian, lembaga, dan pemda mengimplementasikan standar pelayanan publik. Selain itu, juga melakukan evaluasi serta pengawasan sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di samping itu, memberikan apresiasi (reward) pada pimpinan unit pelayanan publik yang mendapat zona hijau. Sebaliknya, memberikan teguran yang mendapatkan zona merah atau kuning.
Pada tahun ini Ombudsman akan meningkatkan kualitas dan kuantitas penilaian survei kepatuhan pelayanan publik menjadi opini pengawasan pelayanan publik. Perubahan ini diharapkan lebih berdampak pada tingkat kepatuhan dalam perbaikan kualitas pelayanan publik. Pada sisi lain, Ombudsman merencanakan suatu upaya advokasi kepada pemerintah agar hasil opini tersebut dapat menjadi basis bagi penetapan suatu dana insentif daerah (DID) bidang pelayanan publik di masa mendatang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved