Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Ruang Hampa Fikih Jihad Kontemporer

Yusli Effendi Dosen Hubungan Internasional dan Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) Universitas Brawijaya Malang, Pengurus ISNU Jawa Timur
06/11/2021 05:00
Ruang Hampa Fikih Jihad Kontemporer
(Dok. Pribadi)

 

LEWAT karakter keenam dalam Perahu Kertas, Dewi Lestari pernah menggugat kehampaan, “Bagaimana hampa bisa menyakitkan? Hampa harusnya berarti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada masalah, termasuk rasa sakit.” Namun, sejatinya kehampaan lekat dengan derita dan menyodorkan pelik masalah.

Kehampaan menjadi sorotan dua pakar hubungan internasional dan etika agama. Sohail Humayun Hashmi dan John Kelsey meyakini masalah ruang hampa dalam hukum Islam kontemporer tentang etika perang membuat para teroris mengeksploitasi ketakutan dan rasa sakit untuk meraih tujuannya. Hashmi dan Kelsey meyakini pemikir muslim kontemporer jauh lebih tertarik membahas jus ad bellum (JAB), yang mengatur dalam kondisi apa suatu negara bisa menggunakan kekuatan dalam hubungan internasional daripada mendedikasikan upaya mengkaji jus in bello (JIB) yang mengatur perilaku dalam berperang.

Pandangan pemikir muslim kontemporer terhadap isu JIB tidak bisa dilepaskan dari tendensi akademisi Barat paska-9/11 membakukan konsep jihad yang acapkali keluar konteks. Peristiwa 9/11 menjadi titik anjak membanjirnya publikasi dalam satu dekade akhir yang melekatkan Islam dengan label perang, terorisme, militansi, serta ekstremisme agama.

Dalam melihat hukum Islam, kerangka analisis sarjana Barat cenderung menyempit, seolah hanya bisa melalui lensa tunggal jihad, memaksakan standar hukum perang modern, serta abai akan kompleksitas dalam sistem hukum Islam. Mengenai isu jihad, Reuven Firestone dalam bukunya, Jihad: The Origin of Holy War in Islam mengungkapkan, “Islam mungkin merupakan agama yang paling disalahpahami di Barat. Purbasangka Barat terhadap Islam, sama tuanya dengan Islam itu sendiri. James Turner Johnson menegaskan, "Tidak ada satu isu yang begitu memecah belah dan memantik kesalahpahaman, selain isu jihad."

 

 

Hampa Tuhan

Pemanfaatan sumber-sumber hukum Islam, dalam upaya mencari jawaban atas persoalan-persoalan keamanan kekinian, ternyata menemui banyak hambatan. Kelangkaan literatur Islam terkait JIB atau tata laku dalam perang kontemporer merupakan salah satunya.

Selain kelangkaan rujukan kontemporer Islam terkait hukum humaniter, Corri Zoli (2016) mengidentifikasi bahwa obsesi berlebihan terhadap sejarah hukum Islam, mata rantai yang hilang dalam upaya integrasi hukum Islam dan hukum humaniter, pandangan bias sebagian sarjana Barat, serta keterputusan serius antara hukum Islam dengan isu-isu keamanan, seperti terorisme, penyiksaan, serta aturan konflik dan intervensi asing, menjadi hambatan bagi perkembangan kajian ini. Jika disederhanakan, semua penyebab itu berakar pada sulitnya keluar dari dua jebakan: bias Barat dan apologi kaum muslim.

Jebakan pertama, bias Barat, lahir dari pandangan sekularis. Beragam disiplin ilmu dalam khazanah kesarjanaan Barat, misalnya ilmu politik, antropologi, ilmu budaya, hukum internasional, teori kritikal, hingga studi pembangunan, cenderung enggan untuk menoleh pada agama. Meski peristiwa 9/11 memunculkan urgensi ini, ada kelambanan dalam menghadirkan agama sebagai pisau yang layak diasah dan dipakai untuk analisis.

Daniel Philpott mencatat bahwa adanya bias sekular dalam lensa baca sarjana Barat ini, bisa dilacak akarnya pada narasi Perjanjian Westphalia tahun 1648, yang mendorong kajian politik global memanggungkan aktor negara, bangsa, organisasi internasional, partai politik, kelas, pebisnis, kelompok kepentingan, NGO, elite masyarakat, dan kelompok lobi, sebagai aktor utama. Namun, meminggirkan aktor agama, dan tujuan keagamaan sebagai asumsi dasar teori-teori arus utama.

Harus diakui, meski dalam beberapa dekade ini, agama telah merasuki kesadaran politik para sarjana Barat, hanya sedikit perangkat konseptual, teoritis, dan metodologis yang kuat dipijak untuk menjauh dari setelan sekuler yang terlanjur mapan dalam kajian dan kebijakan keamanan nasional dan internasional. Kondisi adanya ‘hampa tuhan’—atau dalam terma David Waters god gap—inilah, yang kini diidap kaum fundamentalis sekular Barat dalam menganalisis Islam. Kondisi yang menyebabkan bias dalam membaca Islam dengan mengasumsikan jihad sebagai perang ofensif atau demi perluasan wilayah dan penyebaran agama.

 

 

Apologi muslim

Jebakan kedua, muncul dari dalam diri sarjana muslim. Kosongnya kajian hukum Islam soal isu keamanan kontemporer, lahir akibat pandangan apologetis sebagian sarjana muslim yang percaya bahwa norma internasional yang mengatur perilaku dalam perang, sejalan dengan ajaran Islam dalam memperlakukan musuh saat perang.

Zezen Zainal Muttaqin (2021) menemukan bahwa dua penulis muslim, Muhammad Hamidullah dan Sobhi Mahmassani, meyakini hukum Islam mendahului hukum humaniter internasional modern. Ini sekaligus bantahan bagi sarjana Barat yang mengaku hukum humaniter modern sebagai warisan peradaban Barat.

Bagi Sohail Hashmi, sikap apologetik ini, bersama persepsi negatif Barat terhadap jihad dan terbatasnya kajian soal terorisme, penyiksaan, pemberontakan, yang merupakan isu sensitif di bawah rezim otoriter—menjadi penyebab bergesernya fokus kajian pemikir muslim ke jus ad bellum.

Pandangan akan kosongnya literatur kekinian yang menyoal etika perang, sebenarnya terselamatkan dengan adanya kajian Yusuf Al-Qardhawi soal aturan perang dalam kerangka JIB, seperti perlindungan orang sipil (perempuan, anak-anak, agamawan, dan lansia).

Dalam buku Fiqh Jihad yang ditulis ulama kontemporer ahli fikih ini, 64 halaman dikhususkan untuk membahas tata laku berperang. Namun, jumlah ini terhitung kecil jika dibandingkan dengan dua volume buku setebal 1.615 halaman dan lebih banyak membincang jus ad bellum, termasuk bagaimana aturan mencari bantuan dari nonmuslim dalam perang serta ancaman terorisme.

 

 

Mengeksploitasi kehampaan 

Ruang hampa etika Islam, dalam menjawab persoalan-persoalan keamanan kontemporer dimanfaatkan oleh kaum ekstremis. Mereka mengeksploitasi kekosongan ini dengan menyodorkan aturan dan norma perang yang mereka rumuskan. Manipulasi penafsiran, perlu dilakukan terhadap sumber hukum primer Islam, Alquran dan Hadits. Maksud penyegaran rujukan norma bertujuan untuk membangun tatanan normatif baru demi menguatkan kepentingan politik dan meneguhkan otoritas mereka.

Jika Al-Qaeda dan ISIS memiliki kitab manual perang Management of Savagery (idarah at-tawahhus), Taliban Afghanistan berpedoman pada Jihadi Layeha. Meski ketiganya memiliki perbedaan karakter gerakan dan tujuan, ISIS dan Al-Qaeda sebagai gerakan jihad global, sedangkan Taliban berlingkup nasional, tapi, ada benang merah yang menautkan ketiganya: manipulasi penafsiran untuk melegitimasi kekerasan, sebagai kebajikan dan menjustifikasi gerakannya sebagai perang suci.

Manipulasi penafsiran sebagai alat justifikasi terlihat dalam perumusan aturan soal perlindungan warga sipil nonkombatan. Islam yang bersifat terbuka bagi bermacam penafsiran (poly-interpretable), tidak hanya melahirkan keragaman mazhab, tetapi juga kelenturan tafsir.

Dalam aturan perang, membunuh warga sipil ialah kejahatan. Namun, sebuah buku dari publikasi At-Tibyan—yang banyak menerbitkan manual jihad—berargumen menggunakan logika mafhum al mukhalafah (negasi): jika warga sipil muslim harus dilindungi, maka warga sipil nonmuslim tidak. ISIS bahkan tidak mengenal pembedaan target sipil dalam perang atas nama darurat perang dan hukum qishas.

Selain itu, John Kelsey juga menemukan bahwa semua tahanan pria dewasa yang berbadan sehat dapat dieksekusi berdasar keputusan komandan muslim, kecuali mereka menyerah dan dengan jaminan keamanan. Gagasan ini tak setara dengan prinsip modern kekebalan nonkombatan (Basyar 2020).

Pandangan Abu Mus’ab Al-Suri, seorang teoritikus dan ideolog jihad terkemuka, bisa mewakili kaum jihadis. Pada tahun 2004, ia mengajarkan kepada para muridnya yang juga mujahidin materi tentang Nilai dan Muasal Ketentaraan dan Kepemimpinan dalam Jihad. Nilai apa yang diajarkan terlihat dalam bukunya, The Global Islamic Resistance Call. Di dalamnya Al-Suri menyanjung penggunaan kekerasan terhadap warga sipil sebagai irhab mahmud (terorisme terpuji).

Tak berhenti di situ, ia juga mendorong penggunaan ‘bom kotor’ terhadap warga sipil. Osama bin Laden pun memberi framing perlawanan terhadap peradaban Barat sebagai jihad defensif membela wilayah dan umat Islam.

 

 

Pandangan dari ulama Nusantara

Perdebatan panjang di atas memunculkan perangkap dualisme: Barat vs Islam, sekular vs apologetik, ofensif vs defensif, serta ekstremis vs moderat. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada yang lolos dari perbincangan soal etika perang atau fikih jihad di atas mengenai kontribusi ulama atau pemikir muslim Nusantara. Jika etika jihad dari masa klasik Islam bisa muncul dari kitab fikih seperti Al-Umm karya Imam Syafi’i, Masyariq al-Anwar karya Imam Ibnu Nuhaas, Siyar al-Kabir karya Imam as-Syaibani, dan kitab Siyar karya Imam Al-Fazari.

Di Nusantara, bahasan soal ini bisa diteroka melalui kitab tafsir. Kitab tafsir merupakan buah kreatifitas penafsiran teks kitab suci atau hadits yang digunakan untuk melahirkan produk hukum atau fikih. Para penulis tafsir (mufassir) Nusantara yang kita kenal diantaranya Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Kyai Soleh Darat—guru RA Kartini, Syaikh Nawawi Al-Bantani, KH Misbah Musthofa, KH Ahmad Sanusi, KH Mujab Mahalli, KH Bisyri Musthofa, Prof Dr Quraish Shihab, hingga Prof Hamka.

Sorotan layak kita berikan pada Syaikh Nawawi Al-Bantani. Ulama besar asal Banten ini merupakan penulis yang sangat produktif menghasilkan ratusan karya dan menjadi mahaguru banyak ulama Nusantara termasuk KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Selain menghasilkan Tafsir Marah Labid atau yang lebih dikenal sebagai Tafsir Munir, ulama bermazhab Syafi’i ini menulis kitab hasiyah (komentar kitab syarah/penjelasan), “Qutul Habib al Gharib: Tausyih ‘ala Fathil Qarib al Mujib, Syarah Ghayah al Taqrib”.

Kitab ini memberikan komentar dari kitab penjelasan Ghayah al Taqrib, atau yang dikenal sebagai Mukhtasar Abu Syuja al-Ashfahani. Isu yang menarik dari kitab ini mengenai kontribusinya dalam perbincangan soal fikih jihad.

Selain membahas soal ibadah dan urusan sosial, ada tiga pasal dikhususkan menyoal jihad. Tiga pasal dalam bab jihad berisi kajian soal harta rampasan perang (salab dan ghanimah), harta peninggalan perang (fay’) dan pajak bagi nonmuslim dzimmi (jizyah).

Meskipun membahas fikih jihad, kitab yang ditulis tahun 1800-an ini selain luput mengkaji aturan berperang seperti perlindungan warga sipil nonkombatan dan pembatasan penggunaan kekerasan, juga masih menerapkan cara pandang fikih klasik yang memilah dunia menjadi dua kutub yang berseberangan.

Karya klasik Syaikh Nawawi maupun karya kontemporer Yusuf Al-Qardhawi, seolah meneguhkan tesis keterputusan serius antara fikih jihad dengan persoalan-persoalan pelik keamanan kontemporer. Tanpa keberanian dan upaya yang serius untuk melakukan jihad intelektual menawarkan jawaban fikih atas masalah keamanan kontemporer, kaum ekstremis yang akan mengeksploitasi ruang hampa ini untuk melegitimasi kekerasan dan perang. Seperti pernah diingatkan Gus Dur, "Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya."

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya