Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SUATU ketika mantan Presiden Amerika Jimmy Carter bertanya kepada Deng Xiaoping tiga pertanyaan, “Apakah masyarakat Tiongkok memiliki kebebasan beragama?” Deng menjawab, “Tentu.” Pertanyaan kedua, ”Bisakah orang Kristen mencetak dan mendistribusikan Injil?” Deng dengan yakin menjawab, “Tidak masalah.” Namun, untuk pertanyaan terakhir, “Apakah pemerintah Tiongkok akan mengizinkan misionaris (asing) ke Tiongkok untuk melakukan misi keagamaan?” Pemimpin pembaruan Tiongkok modern itu dengan tegas berkata, “Tidak!”
Cuplikan dialog di atas merupakan gambaran bagaimana pemerintah Tiongkok membuat cetak biru (blue print) kebijakan mereka terhadap keberadaan agama-agama di negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia itu. Jawaban Deng merepresentasikan apa yang telah diatur dalam Konstitusi Tiongkok.
Xianfa dan pengakuan kebebasan beragama
Meskipun berhaluan komunisme, Tiongkok mengatur kebebasan beragama bagi rakyat mereka. Bahkan, ketika negara tersebut baru berdiri pada 1949 dan belum memiliki konstitusi resmi serta masih berbentuk proto-constitution berupa Program Umum (Common Program), kebebasan memeluk agama sebagai bagian dari hak asasi manusia sudah diakui.
Pada 1954, Xianfa (Konstitusi Tiongkok) dibentuk dan meskipun mengalami beberapa kali amendemen (1975 dan 1978), hingga yang terakhir 1982, persoalan kebebasan beragama ini tetap diatur.
Dalam Pasal 36 Konstitusi Tiongkok disebutkan bahwa setiap warga negara Tiongkok harus menikmati kebebasan beragama. Tidak ada organ negara yang boleh memaksa warga negara untuk percaya atau tidak percaya kepada agama apa pun. Negara juga tidak boleh mendiskriminasi warga yang percaya atau tidak percaya kepada agama apa pun. Negara akan melindungi aktivitas agama yang dilakukan secara normal dan tidak boleh seorang pun menggunakan agama untuk melakukan kegiatan yang bisa mengganggu ketertiban publik, mengganggu kesehatan masyarakat, atau melakukan intervensi terhadap sistem pendidikan negara.
Meskipun Konstitusi Tiongkok telah mengatur persoalan kebebasan berkeyakinan, implementasinya mengalami pasang surut. Di dekade 1950-an, kehidupan beragama di Tiongkok berjalan secara normal. Bahkan, beberapa kali utusan muslim Indonesia dan Tiongkok saling berkunjung. Tiongkok juga berhasil mengirimkan jemaah haji mereka secara langsung ke Arab Saudi untuk pertama kali 1956 meskipun tahun-tahun sebelumnya harus melalui negara ketiga (Pakistan).
Selama periode Revolusi Kebudayaan (1966-1976), yang digagas Mao Zedong, kehidupan beragama di ‘Negeri Tirai Bambu’ ini mengalami masa kegelapan. Selama periode itu, seluruh aktivitas keagamaan dilarang, situs-situs peribadatan ditutup, bahkan dialihfungsikan. Sejak meninggalnya Mao 1976, Revolusi Kebudayaan yang digagasnya ikut tenggelam dan masyarakat Tiongkok memasuki tahapan baru kehidupan sosial keagamaan mereka.
Gaige Kaifang dan angin baru kehidupan beragama
Deng Xiaoping merupakan pemimpin tertinggi generasi kedua di Tiongkok yang berkuasa sejak 1978-1989, dan dikenal berhasil menjadikan Tiongkok bisa maju seperti sekarang, dengan kebijakan pintu terbukanya (Gaige Kaifang). Deng memberikan angin baru bagi perkembangan agama-agama di Tiongkok.
Kebijakan reformasi ekonomi dan open door policy yang diterapkan Deng mensyaratkan dua hal. Pertama, perlunya persatuan nasional dari seluruh etnik (termasuk etnik muslim) untuk bersama-sama membangun ekonomi Tiongkok. Kedua, Tiongkok perlu meningkatkan kerja sama secara lebih terbuka dengan dunia luar dalam memajukan ekonomi mereka. Negara-negara yang akan melakukan kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, baik melalui investasi permodalan maupun transfer teknologi, rata-rata negara memiliki basis keagamaan mainstream dunia.
Pada akhir 1979, Deng mengizinkan pembukaan kembali gereja-gereja dan masjid serta kuil menuju situasi yang disebut Fenggang Yang (2004) sebagai bringing religious life back to the public scene (membawa kembali kehidupan beragama ke ruang publik).
Hanya hitungan bulan setelah kebijakan Deng diterapkan, komunitas muslim Tiongkok menggelar muktamar ke-4 setelah sekian puluh tahun vakum. Pada 6-15 April 1980, diadakanlah Muktamar Islam Tiongkok yang dihadiri 256 utusan dari seluruh Tiongkok. Muktamar dipimpin Burhan Zahidi, aktivis muslim era Mao, dan juga dihadiri para pejabat pemerintah.
Departemen Agama dan pelaksanaan haji
Pada 1979, Deng Xiaoping menghidupkan kembali Guojia Zongjiao Shiwu Ju atau Departemen Agama (The People’s Republic of China State Bureau of Religious Affairs) yang merupakan organ di bawah Guowuyuan (Dewan Negara/State Council).
Departemen Agama Tiongkok dibentuk pada 1951, atau dua tahun setelah berdirinya RRC dan berhenti beroperasi sepanjang Revolusi Kebudayaan. Departemen Agama Tiongkok itu mengurusi lima agama yang diakui negara: Islam, Buddha, Taoisme, Protestan, dan Katolik yang tidak terafiliasi dengan Vatikan. Menurut catatan Administrasi Negara Urusan Agama, saat ini Tiongkok memiliki lebih dari 30 ribu masjid dan lebih dari 40 ribu ahong (ulama/imam).
Menurut Qianfang Zhang (2012: 154), Departemen Agama Tiongkok merupakan biro yang terafiliasi (zhishu jigou), dengan fungsi membuat aturan dalam bidang keagamaan yang bersifat independen meskipun di bawah Dewan Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi negara. Pada 2010, Menteri Agama Tiongkok Wang Zuqan pernah berkunjung ke Jakarta dan melakukan pertemuan dengan Menteri Agama RI Suryadharma Ali.
Selain membuat aturan-aturan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan keagamaan, Departemen Agama Tiongkok melakukan koordinasi pelaksanaan ibadah haji, yang setiap tahun dilaksanakan Zhongguo Huijiao Xiehui (Asosiasi Islam Tiongkok).
Pada 2016, pemerintah Tiongkok mengeluarkan sebuah kebijakan progresif dalam bentuk National Action Plan of Human Rights 2016-2020 yang salah satu butirnya adalah perbaikan pelayanan haji (improving organization and services for Islamic hajj). Sebagai tindak lanjut dari rencana aksi itu, pada 28 Agustus 2017, pemerintahan Xi Jinping mengutus pejabatnya menemui Menteri Urusan Wakaf dan Haji Arab Saudi Mohammed Saleh bin Taher Al Banten.
Pelayanan haji Tiongkok dilakukan Asosiasi Islam Tiongkok, mulai pendaftaran, manasik haji, pelayanan keberangkatan, pelayanan di Arab Saudi, hingga kepulangan ke tanah air mereka. Prosedur pendaftaran haji di Tiongkok diawali dengan pendaftaran melalui masjid setempat yang tersebar di kota-kota di Tiongkok dengan usia minimal calon jemaah di atas 18 tahun. Jika berusia di atas 70 tahun, diwajibkan mengisi formulir tentang kesanggupan menjaga kesehatan ketika melakukan ibadah. Jika administrasinya lengkap, proses akan dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan calon jemaah haji.
Jika semua persyaratan administrasi dan kesehatan telah memenuhi, pihak Zhongguo Huijiao Xiehui (Asosiasi Islam Tiongkok) akan memproses persiapan calon haji, mulai manasik, pengurusan visa, hingga keperluan tambahan lain seperti asuransi. Biaya keberangkatan haji di Tiongkok sekitar RMB40 ribu (US$5.998), meliputi biaya manasik, asuransi kesehatan, tiket pulang-pergi Tiongkok-Arab Saudi, termasuk biaya akomodasi di Saudi. Pengembalian sisa uang akan diberikan ke jemaah haji ketika sudah kembali ke Tiongkok.
Pada 2020, pemerintah Tiongkok membuat peraturan baru yang lebih ketat berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji, yang melibatkan delapan otoritas di antaranya Kementerian Agama, Kementerian Keamanan Publik, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Budaya dan Pariwisata, dan pendaftaran calon jemaah haji dilakukan di kantor-kantor biro urusan agama setempat.
Jika dibandingkan dengan pelayanan haji di Indonesia yang bisa antre (waiting list) puluhan tahun, waktu tunggu keberangkatan ke tanah suci di Tiongkok rata-rata satu tahun dari pendaftaran. Setiap tahun pemerintah Tiongkok memberangkatkan sekitar 12.500-14.000 jemaah haji (seperempatnya rata-rata berasal dari etnik Uyghur) dengan charter flight langsung dari Beijing ke Madinah hingga hampir 100 kali.
Pribumisasi Islam
Dua tahun lalu, stasiun TV Deutsche Welle menyajikan laporan William Yang dengan judul menarik: What Does China Want to Achieve by ‘Modifying Islam’? (apa yang ingin dicapai Tiongkok dengan ‘memodifikasi Islam’?). Laporan itu merespons kebijakan baru yang dikeluarkan otoritas Tiongkok berkaitan dengan program ‘sinifikasi Islam’ (Sinification of Islam 2018-2022), yang bertujuan menyelaraskan Islam dengan norma-norma budaya Tiongkok.
Banyak pihak mengkritik xingzheng fagui (aturan administrasi) ini sebagai bentuk xenophobia atas sesuatu yang berbau Islam di tengah maraknya pemberitaan atas nasib etnik Uyghur di Xinjiang. Namun, pemerintahan Xi berpandangan perlu menciptakan suasana baru bagi penyebaran dan pengembangan agama-agama di Tiongkok, termasuk Protestan dan Katolik (Foreign Policy, Maret 2019).
Kebijakan sinifikasi Islam 2018-2022, yang pembahasannya melibatkan asosiasi Islam dari delapan provinsi di Tiongkok tersebut, memuat historical backgroud terkait dengan kedatangan Islam ke Tiongkok yang dimulai sejak era Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1279). Bahkan, di era Dinasti Yuan (1271-1368), ada badan khusus yang bertanggung jawab terhadap urusan agama Islam, baik di pemerintahan lokal maupun pusat.
Wajah ‘Islam Tiongkok’ mulai tampak di era Dinasti Ming (1368-1644) dan Qing (1644-1911) dengan pembentukan sistem komunitas masjid (sifang) dan pembelajarannya (jingtang jiaoyu), serta penggunaan konfusianisme sebagai sarana untuk menafsirkan tulisan-tulisan yang menjadi sumber ajaran Islam.
Jika membaca beberapa paragraf kebijakan sinifikasi, yang ingin membawa tradisi positif Islam, agar bisa menyerap nilai-nilai budaya dan sosialisme Tiongkok demi penegakan kecintaan pada negara dan agama, agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa program ini paralel dengan pemikiran KH Abdurrahman Wahid tentang pribumisasi Islam.
Bagi Gus Dur, kontekstualisasi Islam menjadi sangat penting agar nilai-nilai Islam bisa membumi dengan cara mengakomodasi keragaman budaya dan kebutuhan masyarakat dengan tanpa mengubah doktrin ajarannya. Akhirnya, terlepas dari mereka yang setuju atau tidak dengan beleid sinifikasi Islam ini, kita perlu memahami konstatasi Al Islamu shalihun li kulli zaman wa makan (Islam itu relevan di segala waktu dan tempat), termasuk di Tiongkok, bukan?
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sheikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa mengungkapkan pujiannya kepada Nahdlatul Ulama (NU), atas peran dan kiprahnya di bidang kemanusiaan dan dunia internasional.
Dalam kegiatan ini, ratusan kader Muslimat NU dari berbagai daerah hadir mengikuti pembelajaran dan pemetaan potensi diri melalui metode Talent DNA yang dikembangkan oleh Founder ESQ
TUJUH puluh tahun telah berlalu sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung mempertemukan para pemimpin dari negara-negara baru merdeka.
Pada era Soeharto, peran Islam dalam politik luar negeri Indonesia sering disampingkan karena pemerintah lebih mendorong kebijakan luar negeri yang bebas-aktif.
"Khataman Al-Qur’an Serentak di Titik Lokasi Terbanyak di Seluruh Dunia", menjadikannya sebagai khataman Al-Qur’an terbanyak di masjid-masjid dengan total 10.000 titik lokasi.
HUBUNGAN diplomatik Indonesia-Rusia resmi berusia 75 tahun pada 3 Februari 2025.
Jaga lisanmu! Temukan cara menjaga lisan menurut Islam agar terhindar dari dosa ghibah, fitnah, dan perkataan buruk lainnya. Tips praktis ada di sini!
Suami istri ideal dalam Islam? Temukan peran & tanggung jawab masing-masing! Tips harmonis & berkah di keluarga Islami. Klik sekarang!
Oleh karena itu, Prabowo mengingatkan pemimpin negara Islam untuk tidak mudah dipengaruhi oleh pihak yang ingin mengadu domba.
Said Aqil mengingatkan pentingnya membangun koneksi ruhani yang mendalam dengan Allah di tengah dunia yang semakin sekuler.
Remisi khusus (RK) narapidana dan pengurangan masa pidana pada Nyepi dan Idulfitri mampu menekan pengeluaran pemerintah untuk biaya makan warga binaan sampai Rp81 miliar lebih
KEMENTERIAN Agama terus memperkuat kajian terkait integrasi Islam dan sains, terutama dalam konteks kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved