Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERAIRAN Indonesia memiliki posisi strategis dan memainkan peran penting sebagai jalur perniagaan maritim kawasan Asia Tenggara sejak abad ke 14. Di kawasan ini sudah terbentuk pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk negara-negara dengan dua karakteristik utama yakni negara-negara pesisir, seperti Kepulauan Indonesia, Semenanjung Malaya, dan Filipina serta negara-negara persawahan di dataran rendah di daratan Asia Tenggara, seperti Burma, Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam. (Kenneth Hall dalam Susanto Zuhdi).
Akan tetapi kolonialisme mengarahkan bangsa Indonesia untuk membelakangi laut. Pembangunan kota, pendirian pusat industri, serta kerja paksa di perkebunan, secara perlahan mengikis tradisi maritim yang dinamis. Bisa dikatakan, kolonialisme secara efektif membuat budaya bahari sebagai identitas leluhur bangsa Indonesia menjadi terkubur. Meski demikian, gagasan untuk menghidupkan kembali identitas bahari sebagai kebijakan yang menjadi landasan dan orientasi pembangunan nasional tidaklah padam, dan telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Berbagai upaya
Presiden Soekarno telah sejak lama memperlihatkan keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat. Salah satu ungkapan populernya ialah "Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut yang kesibukannya menandingi riak geombang laut itu sendiri."
Di bawah kepemimpinannya, berbagai kebijakan dalam bidang kemaritiman digalakan, di antaranya dengan membentuk Institut Angkatan Laut, Akademi Pelayaran Indonesia (AIP), dan membentuk perusahaan pelayaran dalam negeri (Jakarta Lyoid) pada 1950. Presiden Soekarno juga mendorong berbagai upaya perumusan peraturan tentang perairan di Indonesia melalui Deklarasi Juanda 1957 yang kemudian menjadi UU Nomor 4 PRP/1960.
Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, berbagai kebijakan di bidang kemaritiman terlihat dari disahkannya beberapa produk hukum, antara lain pengaturan hak berdaulat (sovereign rights) Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Esklusif (ZEE) Indonesia. Lalu UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen, serta melanjutkan estafet perjuangan diplomasi maritim melalui konvensi hukum laut internasional (UNCLOS).
Yang terpenting dari berbagai upaya yang pernah dilakukan pada masa Orde Lama dan Orde Baru ialah diakuinya konsep negara kepulauan oleh UNCLOS pada 1982. Karena keberhasilan ini merupakan capaian dalam bidang kemaritiman yang amat krusial bagi Indonesia setelah menjadi negara merdeka, yang dalam perjalanannya tidak dapat dilepaskan dari dua masa kepemimpinan (Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto).
Akan tetapi, tidak sedikit pihak yang memposisikan deklarasi Juanda (1957) dan keberhasilan diplomasi maritim Indonesia untuk memperoleh pengakuan dari UNCLOS 1982, sebagai capaian yang kerap dikaitkan dengan pengetahuan betapa banyaknya pulau di Indonesia, dan bukan dari sisi luasnya perairan Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh lahirnya istilah populer yang menyebutkan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Tidak salah memang, hanya saja pemaknaannya tidak berhenti sampai di situ.
Karena secara substantif, pengakuan UNCLOS memiliki kedudukan signifikan dalam konteks perluasan definisi negara maritim, terutama menyangkut perluasan perairan dan penegakan kedaulatan didalamnya, yang tentu lebih inheren dengan berbagai kepentingan di laut dibandingkan dengan pulaunya.
Sebab semula luas teritorial laut antar pulau hanya seluas 3 mil merujuk pada Staatsblad 1939 Nomor 442 tentang Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (peraturan masa Hindia Belanda). Itu artinya, terdapat banyak laut di antara pulau (selat) di Indonesia berstatus sebagai laut internasional. Hal tersebut membuat penegakan kedaulatan diperairan kita menjadi sangat terbatas.
Tetapi setelah UNCLOS mengakui konsep negara kepulauan, luas wilayah perairan Indonesia menjadi berlipat ganda, dan yang lebih penting ialah perairan antar pulau di Indonesia menjadi laut teritorial milik Indonesia, tanpa terikat oleh luasan radius. Akan tetapi, luasnya lautan Indonesia tidak terjangkau oleh orientasi pembangunan pemerintah selama berpuluh tahun lamanya.
Memasuki masa Reformasi, hasrat untuk menghidupkan nilai dan kebudayaan maritim sebagai orientasi pembangunan nasional dihidupkan kembali. Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Laut (DEL) melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999, yang pada perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur sampai menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan di 2009.
Presiden Abdurrahman Wahid juga membentuk Dewan Maritim Indonesia yang tugasnya merumuskan kebijakan kelautan Indonesia. Namun mengingat masa kepemimpinannya yang singkat akibat dinamika politik nasional yang memanas ketika itu, membuat program bidang kemaritiman urung terlaksana. Pada masa kepemimpinan berikutnya, khususnya pada masa Presiden Megawati arah kebijakan pemerintah dalam bidang maritim tidak begitu nampak, meskipun tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.
Sementara pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), salah satu kebijakan bidang maritim yang amat penting ialah program pemberdayaan industri pelayaran yang menandai diterapkannya Asas Cabotage (lihat UU No.17 Tahun 2008). Lahirnya prinsip ini, dianggap sebagai lompatan penting yang memungkinkan terbukanya peluang yang luas bagi perkembangan perniagaan dan transportasi perusahaan pelayaran nasional.
Tantangan poros maritim
Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo bisa dibilang sebagai masa pemerintahan yang menomorsatukan bidang kemaritiman sebagai landasan program pembangunan nasional. Presiden Joko Widodo ingin menempatkan sektor kemaritiman sebagai pendulum kemajuan Indonesia. Pada masa ini pula Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dibentuk.
Salah satu gagasan akbar yang digaungkan Presiden Joko Widodo ialah visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Gagasan Poros Maritim Dunia semakin dielaborasi Presiden Joko Widodo pada Indonesia Summit di Beijing dan Pelabuhan Nanjing, pada 8-12 November 2014, selain dalam KTT ASEAN di Naypyidaw, Myanmar pada 13 November 2014, dengan hadirnya 5 unsur yakni; budaya maritim, ekonomi maritim, konektifitas maritim, ketahanan maritim, dan diplomasi maritim. (P Partogi Nainggolan).
Gagasan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia memang perlu diapresiasi sebagai reimajinasi dari kejayaan maritim nusantara masa lampau. Tetapi kita juga harus sadar bahwa untuk menjadi negara maritim yang kuat diperlukan implementasi program yang nyata, selain itu tantangan yang dihadapi juga begitu kompleks.
Dalam hal perdagangan misalnya, kita belum menjadi pemain utama dalam jaringan perdagangan maritim dunia. Hal ini seperti yang nampak dari gambaran mengenai konektifitas Indonesia terhadap jaringan pelayaran global, di mana angka indeks Liner Shiping Connectivity Index (LSCI) kita dalam beberapa tahun terakhir masih jauh di bawah negara-negara lain. Bahkan di Asia Tenggara, kita masih kalah oleh Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Padahal perairan kita (terutama selat Malaka, Sunda, Lombok dan Bali) merupakan perairan sibuk dengan nilai perdagangan mencapai lebih dari US$400 miliar. Tetapi kita belum sepenuhnya mampu memanfaatkan posisi strategis perairan Indonesia sebagai jembatan penghubung lalu lintas maritim antar negara-negara maju terdekat, atau yang berstatus sebagai lingkar konsentris terdalam seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan (di utara), lalu India, (di barat), dan Australia (di selatan).
Kemudian dalam hal konektivitas maritim nasional, di mana galangan kapal kita lebih banyak berada di Indonesia bagian barat. Dari 250 galangan kapal, hanya 30 galangan yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur. Ini merupakan tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang besar terutama dalam upaya pemerataan industri manufaktur maritim tanah air. Kita juga dihadapkan dengan persoalan aksesibilitas dan manajemen di pelabuhan yang belum terdigitalisasi. Di mana akses menuju pelabuhan masih beririsan dengan jalur transportasi umum lainnya yang berdampak terhadap kemacetan dan lambatnya mobilisasi.
Sementara itu, kontribusi ekonomi dari sektor kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga masih rendah, masih di kisaran 30%. Kita belum seoptimal Jepang dan Tiongkok yang berhasil mencapai angka 48%, dan Vietnam sebesar 57%. Padahal potensi ekonomi maritim kita yang berasal dari 11 klaster ditaksir mencapai US$1,5 triliun lebih. Sebagai negara dengan potensi kekayaan laut yang besar, sudah seharusnya sektor maritim memperoleh perhatian lebih, agar target peningkatan kontribusi sektor maritim terhadap PDB dapat terus ditingkatkan.
Di sisi lain, kita juga tidak usah malu untuk mengatakan bahwa dalam aspek ilmu pengetahuan, penelitian kita di bidang kelautan khususnya di perairan terdalam dan di wilayah landas kontinen, masih belum dieksplorasi secara maksimal. Ini membuat pengetahuan kita tentang pemetaan potensi kekayaan maritim menjadi amat terbatas.
Meski demikian, sebenarnya pemerintahan saat ini sudah berada pada jalur yang tepat, dan berusaha menjawab berbagai rumusan kebijakan dan perjuangan panjang dalam bidang kemaritiman yang dilakukan oleh pemerintahan terdahulu, melalui implementasi program bidang kemaritiman yang kini tengah diupayakan. Hanya saja, upaya untuk mengakselerasi potensi kemaritiman secara optimal memerlukan usaha yang besar dan waktu yang panjang.
Pada titik ini kita harus memandang visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebagai visi jangka panjang. Pemerintahan selanjutnya harus secara estafet memperjuangkan gagasan besar ini melalui berbagai upaya inovatif, dan kerja nyata yang dilandasi keberanian di tengah tarikan gravitasi geopolitik maritim kawasan yang dinamis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved