Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEANDAINYA proses bisa memprediksi keberhasilan pembelajaran siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, penilaian standar memang sudah tidak lagi diperlukan. Sayangnya realitas menunjukkan tanda berbeda. Kesenjangan pelayanan pendidikan pada sejumlah negara, termasuk di negara kita, tampak jelas dan mencolok. Itulah, barangkali, mengapa penilaian standar masih diperlukan dan tetap digunakan pada sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Inggris.
Administrasi, fungsi, dan tujuan penggunaan penilaian standar bisa berbeda dari satu tempat dengan lainnya. Di Amerika Serikat, sebagai contoh, kita mengenal National Assessment of Educational Progress (NAEP), atau lebih popular disebut National Report Cards. NAEP digunakan untuk mendapatkan gambaran pencapaian siswa pada sejumlah mata pelajaran yang diujikan. NAEP diselenggarakan setiap tiga tahun. Pesertanya hanya berupa sampel, bukan populasi. Hasilnya bisa digunakan sebagai salah satu parameter kemajuan pendidikan di AS dan juga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan pendidikan pada tingkat pemerintahan federal, negara bagian, dan/atau pemerintah lokal (distrik).
Selain itu, ada penilaian standar pada akhir jenjang pendidikan dasar. Penilaian itu diselenggarakan setiap tahun oleh tiap negara bagian dan bersifat high-stake. Hasil dari penilaian ini digunakan untuk menetapkan kelulusan siswa dan mengukur kinerja guru atau manjemen satuan pendidikan. Untuk masuk perguruan tinggi di AS, kandidat siswa harus menempuh penilaian standar Scholastic Aptitude Test (SAT). Penilaian itu diselenggarakan College Board dan Educational Testing Service (ETS) atau kandidat juga bisa mengikuti penilaian standar yang diselenggarakan American College Testing (ACT).
Substansi penilaian ETS/College Board dan ACT berbeda. Yang pertama mengukur kemampuan umum, skolastik, dan karenanya curriculum free dan yang kedua berorientasi pada kurikulum. Di Inggris, siswa pada akhir jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) dengan rentang usia berkisar 15-16 tahun juga mengikuti penilaian standar General Certificate of Secondary Education (GCSE) yang dilaksanakan lembaga penilaian yang bersifat mandiri.
Untuk kasus Indonesia, permasalahannya lebih kompleks dan mendasar. Hal itu terkait dengan akses pendidikan bermutu, khususnya di kalangan masyarakat kurang mampu dan daerah terpencil, kualitas guru dan sebarannya, kesejahteraan guru, minimnya ketersediaan dukungan pembelajaran berupa perpustakaan, teknologi pembelajaran, dan lainnya. Dengan menimbang kesenjangan kualitas antarsatuan pendidikan dan daerah yang masih lebar dan dalam, penilaian standar saat ini masih tetap diperlukan guna mendapat potret mutu berbasis data. Karena itu, kebijakan yang diterbitkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan terkait dengan mutu pelayanan pendidikan, guru, dan manajemen bisa lebih terukur, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, penilaian standar asesmen nasional (AN) yang sebentar lagi akan dilaksanakan Kemendikbud-Ristek hendaklah dibaca dengan semangat dan keperluan di atas sehingga diskusi mengenainya lebih proporsional dan akademis. Dengan demikian, energi seluruh aktor pendidikan akan dapat disalurkan untuk mendukung terwujudnya pendidikan bermutu melalui pemanfaatan hasil asesmen nasional secara tepat guna.
Anomali
Pada September 2021 ini, pemerintah akan menyelenggarakan AN. Berbeda dengan ujian nasional (UN) yang datanya digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu dan sebagai penentu kelulusan, AN diberikan kepada siswa yang sedang belajar pada kelas 5 (SD), kelas 8 (SMP), dan kelas 11 (SMA) atau sederajat. Hasilnya berfungsi sebagai diagnostik yang dapat digunakan untuk menyusun kebijakan peningkatan kapasitas guru dan manajemen satuan pendidikan, perbaikan prasarana dan sarana pendidikan. Pada skala mikro data dan informasi hasil AN dapat digunakan satuan pendidikan dan guru untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran, khususnya pada literasi (bahasa), numerasi (matematika), dan karakter.
Penilaian standar sering kali disikapi secara keliru karena masih minimnya pengetahuan masyarakat dan pengelola pendidikan tentang literasi penilaian. Karena itu, meskipun AN bersifat low-stake dan hasilnya hanya akan digunakan untuk kepentingan diagnostik hasil pembelajaran dan penyusunan kebijakan pendidikan, pengelola satuan pendidikan, manajemen, dan guru serta orang tua tampak seperti dihadapkan pada sesuatu yang asing sehingga menjadi panik dan cemas. Informasi yang penulis dengar belakangan ini, satuan pendidikan dan guru mulai sibuk memberikan bimbingan khusus persiapan AN kepada siswa dan konon jasa bimbingan persiapan AN komersial juga sudah mulai ditawarkan.
Persiapan
Praktik bimbingan persiapan penilaian standar (PPS) memiliki beberapa karakteristik. Pertama, siswa biasanya terlibat dalam latihan dan lembar kerja yang meniru format penilaian yang akan ditempuh. Karena penilaian standar pada umumnya disusun dalam format pilihan ganda, PPS akan melibatkan banyak latihan pada pertanyaan pilihan ganda. Kadang-kadang, PPS mencakup penilaian berdasarkan waktu, sesuai dengan permintaan. Di suatu daerah/satuan pendidikan yang sudah menerapkan penilaian berbasis komputer, siswa juga diberi kesempatan untuk berlatih menggunakan perangkat laptop atau gawai. Pada UN sebelumnya, kita menyaksikan banyak satuan pendidikan dan dinas pendidikan sudah melembagakan PPS dan hasilnya digunakan sebagai pegangan (benchmark) dan dimodelkan.
Karakteristik kedua PPS berkaitan dengan konten yang dipraktikkan. Biasanya, guru didesak untuk fokus hanya pada pengetahuan dan keterampilan yang diuji. Logikanya bisa dimengerti, yaitu karena kita diminta pertanggungjawaban atas prestasi siswa pada standar A, B, dan C, kita tidak perlu khawatir tentang standar X, Y, dan Z karena tidak diuji. Namun, logika ini memiliki konsekuensi bermasalah untuk belajar karena akan terjadi penyempitan kurikulum (curriculum contraction). Misalnya, dalam literasi bahasa, sebagian besar penilaian standar tidak menilai keterampilan berbicara atau menulis esai panjang meskipun keterampilan itu sangat penting untuk pengembangan literasi.
Aspek ketiga dari PPS melibatkan strategi dalam menjawab soal penilaian dengan cepat dan tepat. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan memberikan latihan strategi mengerjakan soal penilaian guna mendapatkan skor tinggi. Namun, tindakan itu tidak boleh mengalihkan waktu pembelajaran yang lebih berharga dan substantif.
Praktik PPS seharusnya dicegah karena akan dapat mendistorsi data dan informasi yang diperoleh. Apalagi dalam kasus AN, yang hasilnya—data dan informasi—akan digunakan untuk kepentingan diagnostik dan penyusunan kebijakan pendidikan terkait dengan mutu. Pengambil kebijakan bisa kehilangan data dan informasi yang akurat tentang bagaimana sebenarnya praktik pengelolaan pembelajaran pada suatu satuan pendidikan. Akibatnya, kebijakan pendidikan terkait dengan mutu yang dikeluarkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah bisa salah sasaran. Wallahu a’lam bishshawab.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved